Senin, 02 April 2012

Analisis Materi PAI SD Kelas IV-VI


BAB I
PENDAHULUN
Buku Pendidikan Agama Islam untuk sekolah dasar ini merupakan buku teks pelajaran Pendidikan Agama Islam. Buku ini dapat digunakan oleh siswa-siswi SD sebagai buku pegangan dalam mengikuti pelajaran agama lslam. Bagi guru, dengan menggunakan buku ini saja akan mempermudah proses belajar mengajar di sekolah ataupun di luar sekolah. Buku ini berciri khas antara lain:
Ø  Materi disusun sistematis sesuai Standar Isi 2006 (KTSP).
Ø   Bahasa dan kalimat yang digunakan mengacu pada kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), sesuai dengan kondisi psikologis anak sekolah dasar.
Ø  Dilengkapi dengan rangkuman ringkas (untuk diingat) yang dipaparkan di setiap akhir bab.
Ø   Dilengkapi latihan di setiap akhir bab dan juga latihan setiap akhir semester yang dapat dilakukan oleh siswa-siswi dalam mengevaluasi hasil pembelajaran mereka.
Selain itu, buku ini juga sarat dengan gambar-gambar dan ilustrasi yang menarik. Buku ini juga dirancang dengan mempertimbangkan aspek grafis dan tipografis yang cermat tanpa melupakan rasa keindahan yang santun dan layak ditampilkan dalam sebuah buku yang bermutu.  Disini penulis akan secara rinci mengungkapkan isi buku PAI untuk tingkat kelas IV-VII Sekolah Dasar yang diterbitkan oleh Erlangga dan penulis juga akan mengkritisi kelayakan materi yang dibahas. Adapun gambaran singkat dari buku pembelajaran ini adalah sebagai berikut:
A.    Buku Pendidikan Agama Islam Kelas IV Sekolah Dasar diterbitkan oleh Erlangga ini menjelaskan materi Al-Qur’an (membaca surat-surat pendek pilihan), Akidah (mengenal sifat jaiz Alloh SWT dan mengenal Malaikat dan tugas-tugasnya), Tarikh (menceritakan kisah-kisah Nabi), Akhlak (membiasakan prilaku terpuji), dan Fikih (mengenal ketentuan-ketentuan sholat dan melaksanakan dzikir dan do’a). Adapun pendekatan dan penyajian buku ini pada prinsipnya tetap membahas lima unsur pokok yang harus diajarkan dalam pendidikan agama islam seperti Al qur’an,  keimanan, akhlak, ibadah atau fikih, serta tarikh yang bertujuan untuk menanamkan dan mengembangkan kehidupan beragama sejak usia dini sehingga kelak diharapkan siswa akan tumbuh menjadi manusia muslim yang tangguh, bertakwa kepada Allah SWT, dan berakhlak mulia. Buku kelas IV ini juga mempunyai ciri khas tersendiri yaitu disajikannya petunjuk guru dengan harapan agar bahan pelajaran tersebut mudah disajikan dan orang tua pun dapat membantu putra-putrinya dalam belajar. Sedangkan dalam segi pembelajarannya hanya sebatas membaca, menghafal, mengenal, menceritakan, membiasakan dan melaksanakan. Akan tetapi, penekanannya lebih cenderung kepada aspek pengenalan, pembiasaan, pemahaman dan pelaksanaan.
B.     Buku Pendidikan Agama Islam Kelas V Sekolah Dasar diterbitkan oleh Erlangga ini menjelaskan materi materi Al-qur’an (mengartikan al- qur’an surat pendek pilihan), Akidah (mengenal kitab- kitab Alloh dan mengenal rasul- rasul Alloh SWT), Tarikh (menceritakan isah Nabi dan sahabat Nabi), Akhlak (membiasakan perilaku terpuji), dan Fikih (mengumandangkan azan dan ikamah, dan mengenal puasa wajib). Adapun pendekatan dan penyajian buku ini pada prinsipnya tetap membahas empat unsur pokok yang harus diajarkan dalam pendidikan agama islam seperti keimanan, ibadah, al-qur’an dan akhlak yang bertujuan untuk menanamkan dan mengembangkan kehidupan beragama sejak usia dini sehingga kelak diharapkan siswa akan tumbuh menjadi manusia muslim yang tangguh, bertakwa kepada Allah SWT, dan berakhlak mulia. Buku kelas V ini juga mempunyai ciri khas tersendiri yaitu disajikannya kegiatan siswa yang dapat digunakan oleh siswa untuk belajar secara mandiri dan sistematis. Sedangkan dalam segi pembelajarannya yaitu membaca, mengartikan, menghafal, menceritakan, mengenal, mencontoh dan membiasakan. Akan tetapi, penekanannya lebih cenderung kepada aspek pengenalan, pembiasaan, pemahaman dan pelaksanaan.
C.     Buku Pendidikan Agama Islam Kelas VII Sekolah Dasar diterbitkan oleh Erlangga ini menjelaskan materi materi materi Al-qur’an (mengartikan Al qur’an surah pendek piliha dan Al qur’an ayat-ayat pilihan), akidah (meyakini adanya hari akhir dan meyakini adanya qada dan qadar), Tarikh (menceritakan kisah Abu Lahab, Abu Jahal, Musailamah Al- Khadab dan kisah kaum Muhajirin dan kaum Anshar), Akhlak ( menghindari prilaku tercelai dan membiasakan perilaku terpuji), dan fikih (mengenal ibadah pada bulan ramadhan dan mengetahui kewajiban zakat). Adapun pendekatan dan penyajian buku ini pada prinsipnya tetap membahas empat unsur pokok yang harus diajarkan dalam pendidikan agama islam seperti keimanan, ibadah, al-qur’an dan akhlak yang bertujuan untuk menanamkan dan mengembangkan kehidupan beragama sejak usia dini sehingga kelak diharapkan siswa akan tumbuh menjadi manusia muslim yang tangguh, bertakwa kepada Allah SWT, dan berakhlak mulia. Buku kelas VII ini juga mempunyai ciri khas tersendiri yaitu disajikannya kegiatan siswa yang dapat digunakan oleh siswa untuk belajar secara mandiri dan sistematis. Sedangkan dalam segi pembelajarannya melanjutkan materi kelas IV, dikelas VII ini segi pembelajarannya sudah pada tahap mengenal, membaca, mengartikan, menghafal, menceritakan, membiasakan, meneladani, mengetahui dan melaksanakan dengan tertib. Akan tetapi, penekanannya sudah  kepada aspek pengenalan, pembiasaan, pemahaman dan pelaksanaan.







BAB II
PEMBAHASAN
A.  Narasi analisa buku kelas IV Sekolah Dasar
Didalam buku kelas IV ini secara keseluruhan materinya sudah sesuai dan layak untuk diajarkan serta dipelajari pada usia ini. Semua materi ini berdasarkan kurikulum yang sudah ditetapkan pemerintah yaitu sesuai dengan standar isi 2006 (KTSP). Isi materi yang terkandung dalam buku ini disampaikan dalam bentuk cerita yang menggunakan bahasa anak, tujuanya supaya peserta didik dengan mudah memahami dan mengerti materi yang sedang dipelajarinya. Hal ini tidak lepas dari petunjuk dan bimbingan guru. Adapun semua materi pelajaran yang ada didalam buku ini, sudah ada kesinambungan dan kesesuaian antara isinya dengan gambar dan ambar-gambar yang ditampilkan dalam buku ini tidak berwarna lagi, dan gambar-gambarnya lebih sedikit dibandingkan isi materinya.  Adapun  penampilan dalil sudah mulai ditampakan dan sudah sesuai. Sedangkan pada analisa gender, secara keseluruhan isi bukunya tidak ada yang mendiskriminasi antar jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Kemudian dari segi penggambarannya ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, meski tidak secara keseluruhan perempuan digambar dengan memakai jilbab sedangkan laki-laki berpeci. Begitu juga pada analisa multicultural, secara keseluruhan tidak ada yang membedakan orang antara yang satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh dari buku kelas IV ini yaitu pada pembahasan tentang sifat jaiz bagi Alloh swt, disini sudah ada kesesuaian anatara materi, gambar, pengambilan dalil, dan tidak ada deskriminasi gender.

B.  Narasi analisa buku kelas V Sekolah Dasar
Didalam buku kelas V ini secara keseluruhan materinya sudah sesuai dan layak untuk diajarkan serta dipelajari pada masa ini. Isi materi yang terkandung dalam buku ini sama halnya dengan yang ada dibuku kelas IV yakni disampaikan dalam bentuk cerita dengan menggunakan bahasa anak akan tetapi lebih mengena lagi tidak hanya sekedar cerita melainkan perlu adanya pemahaman dan kegiatan mempraktikkan, tujuanya supaya peserta didik dengan mudah memahami dan mengerti materi yang sedang dipelajarinya juga tidak lepas dari bimbingan guru. Adapun semua materi pelajaran yang ada didalam buku ini, sudah ada kesinambungan dan kesesuaian antara isinya dengan gambar. Gambar-gambar yang ditampilkan dalam buku ini  tidak berwarna lagi dan hanya sedikit yang lebih menekankan terhadap materinya. Dalil-dalil yang ada dalam materi ini juga sesuai dengan materi yang dibahas baik berupa potongan ayat al-Qur’an maupun hadits nabi meskipun hanya sedikit yang dicantumkan. Jadi titik tekan pembelajarannya hanya kepada pengenalan, pemahaman  pembiasaan  dan mempraktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan pada analisa gender, secara keseluruhan isi bukunya tidak ada yang mendiskriminasi antar jenis kelamin. Hanya saja jika diperhatikan dari gambar rata-rata tidak kecenderung antara sosok laki-laki dengan perempuan penggambarannya seimbang. Akan tetapi dari segi penggambarannya tetap ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan meski tidak secara keseluruhan. Dimana perempuan digambar dengan memakai jilbab sedangkan laki-laki berpeci. Begitu juga pada analisa multicultural, secara keseluruhan tidak ada yang membedakan orang antara yang satu dengan yang lainnya. Adapun salah satu contoh dari buku kelas V ini yaitu pada pembahasan Kisah Nabi Isa As disini sudah ada kesesuaian anatara materi, gambar, pengambilan dalil, dan tidak ada deskriminasi terhadap gender.

C.  Narasi analisa buku kelas VII Sekolah Dasar
Didalam buku kelas VII ini secara keseluruhan materinya sudah sesuai dan layak untuk diajarkan serta dipelajari pada masa ini. Pada buku kelas VII melanjutkan materi yang sudah dipelajari dikelas sebelumnya, tetapi lebih cenderung mendalami materi yang sudah dipelajari sebelumnya. Isi materi yang terkandung dalam buku ini materinya lebih mengena lagi bukan hanya sekedar hanya cerita saja melainkan materi yang perlu membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam lagi seperti mempraktikan materi yang sedang dipelajari, tujuanya supaya peserta didik dengan mudah memahami dan mengerti materi yang sedang dipelajarinya juga tidak lepas dari bimbingan guru. Adapun semua materi pelajaran yang ada didalam buku ini, sudah ada kesinambungan dan kesesuaian antara isinya dengan gambar. Gambar-gambar yang ditampilkan dalam buku ini, meski sudah tidak berwarna lagi tetapi tetap menarik dan seimbang dengan isi materinya. Dalil-dalil yang ada dalam materi ini juga sesuai dengan materi yang dibahas baik berupa potongan ayat al-Qur’an maupun hadits nabi. Akan tetapi dalil-dalil yang ditampilkan dalam buku ini lebih banyak dibandingkan dengan buku sebelumnya, meski demikian dengan bantuan guru dalil tersebut akan mudah dipahami oleh siswa. Jadi titik tekan pembelajarannya tidak hanya kepada pengenalan, pemahaman dan pembiasaan saja, tetapi sudah pada pelaksanaannya kedalam kehidupan sehari-hari serta dapat mengambil hikmah dari apa yang telah dipelajari.
Sedangkan pada analisa gender, secara keseluruhan isi bukunya tidak ada yang mendiskriminasi antar jenis kelamin. Akan tetapi dari segi penggambarannya tetap ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan meski tidak secara keseluruhan. Begitu juga pada analisa multicultural, secara keseluruhan tidak ada yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Adapun salah satu contoh dari materi kelas VII yaitu tentang pengertian hari akhir disini sudah ada kesesuaian anatara materi, gambar, pengambilan dalil, dan tidak ada deskriminasi terhadap gender.



v

Senin, 19 Maret 2012

Pemiran Arkoun vs Jabiri


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Topik sejarah sebagai sebuah idiologi menarik perhatian seluruh masyarakat dan seluruh budaya sepanjang sejarah, dari zaman dahulu hingga sekarang ini. Masyarakat kita  menjadi lebih sulit untuk memahami dirinya, ketidakpastian keberadaanya sekarang, masa depan dan bahkan masa lalu mereka.[1] Renaisans abad pertengahan di Eropa memberikan dampak yang besar terhadap arus pemikiran manusia sesudahnya. perubahan tersebut menjadi signifikan hingga menuju abad baru yang disebut modernitas.Upaya mengejar ketertinggalan masyarakat Arab terbentur oleh tradisi dan budaya mereka, yang dalam hal ini didominasi oleh Islam. Sebagai masyarakat yang pernah meraih golden age pada masa pemerintahan Islam, mereka sulit untuk melupakan tradisi dan budaya tersebut apalagi meninggalkannya. Sehingga upaya tadi melahirkan beberapa aliran dan corak pemikiran yang menawarkan solusi.
Terdapat tiga kelompok yang mencoba memberikan wacana pemikiran mengenai tradisi dan budaya modernitas.[2] Pertama, kelompok yang menawarkan wacana transformatif. Kelompok ini adalah mereka yang menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa lalunya, karena tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi kehidupan kontemporer. Tokoh-tokoh dari kelompok ini adalah kalangan Kristen yang berhaluan Marxis seperti Adonis, Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud, dll. Kedua, kelompok yang menawarkan wacana reformatif. Adalah mereka yang menginginkan bersikap akomodatif, dengan mereformasi tradisi yang selama ini digelutinya. Wakil dari kelompok ini adalah Arkoun, Hassan Hanafi, al-Jabiri, dll. Ketiga, kelompok yang disebut idealis-totalistik. Mereka menginginkan agar dunia Arab kembali kepada Islam murni, khususnya aliran salaf dengan slogan kembali kepada al-Quran dan hadis. Wakil dari kelompok ini seperti Muhammad Ghazali, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, dll.
Disini akan dibahas salah satu tokoh kelompok reformatif, Muhammad arkoun dan Muhammad Abid al-Jabiri. Dimana kelompok yang berafiliasi kepada tipologi reformistik adalah para intelektual yang cenderung memakai metode pendekatan dekonstruktif. Para pemikir dekonstruksionis Arab kebanyakan datang dari daerah Maghribi (Maroko, al-Jazair, Tunis dan Libia). Unsur bahasa Perancis warisan kolonialisme yang tersisa di negeri-negeri tersebut menyebabkan kalangan akademisnya lebih menyerap literatur berbahasa Perancis, ketimbang bahasa-bahasa Eropa lainnya. Keterikatan intelektual para pemikir Arab Maghribi dengan Perancis bukan hanya sebatas bahasanya, mereka juga terpengaruh oleh gerakan-gerakan pemikiran dan filsafat Perancis kontemporer, khususnya gerakan (post) strukturalisme. Bahkan, bahwa hampir seluruh pemikir Muslim Maghribi yang konsen terhadap keislaman dan kearaban adalah penganut paham strukturalisme karena problem yang mereka hadapi kebetulan sama, yaitu masalah bacaan atas tradisi, baik yang berbentuk teks maupun realitas.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Kritik Arkoun atas Epistimologi Islam?
2. Bagaimanakah Kritik al- Jabiri atas Nalar Arab?  




BAB II
PEMBAHASAN


1.              Kritik Arkoun atas Epistimologi Islam
Epistimologi menempati posisi penting dalam dunia pemikiran, karena menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya. Dalam Islam epistimologi berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadits, akal, pengalaman dan intuisi. Sehubungan dengan masalah ini, akan dibahas epistimologi yang digagas oleh Muhammad Arkoun, seorang cendekiawan muslim asal Al Jazair, dilahirkan pada 1 Januari 1928 di Desa Berber, Taurirt Mimoun, Kabylia. Sebuah daerah pegunungan yang terletak di sebelah timur Aljazair. Berber adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Dan bahasa yang dipakai adalah bahasa non-Arab (‘ajam) Sebagai anak seorang pedagang rempah-rempah, Arkoun tumbuh menjadi sarjana dan beliau salah seorang professor Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Sorbonne Perancis, termasuk pemikir Islam kontroversial yang terkenal di dunia, termasuk di Indonesia. Beliau meninggal dunia pada tanggal 14 September di Paris, Perancis. Ia dikenal karena  bangunan epistimologi yang telah terbangun dalam tradisi intelektual Islam. Menurutnya masyarakat muslim dewasa ini telah dikuasi nalar Islami yang memiliki karakter logosentrisme[3] dengan ruang perkembangan yang sangat sempit, dan belum membuka diri pada kemodern pemikiran umat muslim kontemporer. Kritik tajam terhadap orisinalitas al-Qur’an dikemukakan dengan menggunakan metodologi ilmu-ilmu modern ala Barat. Pendekatan ilmu-ilmu modern, seperti antropologi, sosiologi dan linguistik digunakan untuk membedah konsep wahyu yang telah mapan dalam keyakinan umat Islam.
Kritik terhap konsep wahyu dilatarbelakangi oleh kegelisahan Arkoun terhadap sistem epistemologi Islam. Selama berabad-abad lamanya, umat Islam menurut Arkoun mengalami problem sistem epistemologi. Persoalan mendasar ini, baginya menjadi faktor utama keterbelakangan dunia Islam. Sistem pemikiran yang disebut Arkoun, ortodoksi Islam, yang menghambat gerak laju nalar untuk maju dalam mengejar ketertinggalannya dari Barat. Maka tugas utama pemikir Islam menurut Arkoun adalah membongkar epistemologi Islam tradisional karena dianggap telah membentuk ortodoksi Islam yang telah mengendap lama dalam nalar umat Islam. Sumber utama sistem ortodoksi yang menurutnya adalah posisi al-Qur’an. Dogma-dogma kaku dalam agama tidak lain lahir karena ketidakmampuan muslim untuk menangkap pesan orisinil al-Qur’an sebagaimana pada periode awal (periode kenabian) sebagai korpus yang terbuka. Sehingga peradaban Islam termasuk dikategorikan peradaban teks yang semua problem dikembalikan kepada teks. 
A.    Akar Epistemologi Arkoun
Pemikiran Arkoun diwarnai oleh berbagai model, terutama pemikiran-pemikiran Barat beraliran postmodern.[4] Warna pemikiran tersebut yang menjadi modal Arkoun untuk melakukan pembacaan terhadap epistmologi Islam. Ia kerap menulis dalam karya-karyanya menggunakan istilah ilmu Barat modern untuk mengajukan kritikan terhadap pemikiran Islam. Bagi Arkoun, sistem pemikiran Islam tradisional belum memadai untuk merespon secara baik perkembangan ilmu-ilmu modern Barat. Dalam dunia pemikiran kontemporer, Islam kerap tidak mampu menjawab tantangan-tantangan ilmu baru. Hal ini disebabkan pemikiran Islam belum juga mau membuka diri terhadap nilai-nilai kemodernan. Arkoun memaksakan episetemologi Islam untuk ditarik agar menjadi dekat dengan epistemologi modern. Misi Arkoun bertujuan agar dalam pemikiran Islam, lahir konsep epistemologi baru yang mampu menjawab tantangan yang dihadapi.
Hambatan utama untuk mendialogkan antara Islam dan Barat modern, menurut Arkoun, adalah fenomena ideologisasi Islam yang begitu menguat di dalam sistem pemikiran Islam tradisional. Islam tradisional masih memunculkan bahasa-bahasa teologis tradisional yang kerap bergerak memaksakan dominasinya atas skelompok-kelompok dalam Islam, namun tidak mampu memaksakan dominasinya atas epistemologi baru (Barat). Dalam hal ini, posisi al-Qur’an dianggap sebagai sumber proses ideoloigsasi yang disalahgunakan.
Menurut Arkoun, dalam tradisi Islam ada tipe teks, yakni teks pembentuk (al-Nash al-Mu’assis) dan teks hermeneutis (al-Nash al-Tafsiri). Teks pembentuk itu adalah teks al-Qur’an sedangkan teks hermeneutis adalah teks-teks tafsir, fikih, tasawwuf dan lain-lain. Sebab, litelatur-litelatur tersebut tidak lain muncul untuk memberikan interpertasi dan penjelasan terhadap al-Qur’an. Fenomena tersebut diilustrasikan dengan peristiwa Revolusi Prancis. Peristiwa revolusi itu adalah diibaratkan dengan teks pertama yang memiliki pengaruh besar terhadap peristiwa-peristiwa sejarah berikutnya. Dari revolusi ini kemudian lahir banyak sekali litelatur, interpretasi dan karya-karya lainnya yang beragam yang menjelaskan peristiwa revolusi atau melahirkan teori-teori baru dalam ilmu pengetahuan yang luas hingga sekarang.
B.     Pemikiran Tentang al-Qur’an 
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa teks al-Qur’an oleh Arkoun disebut sebagai teks pembentuk. Berkenaan dengan hal ini, bahwa kedudukan agung al-Qur’an sebagai al-Nas al-Mu’assis tersebut ternyata tidak secara tiba-tiba datang secara transsendental. Justru ada fenomena pembentukan sebelumnya. Tradisi Islam ortodoks tidak mempedulikan kandungan mitis dalam al-Qur’an. Berangkat dari sinilah kemudian al-Qur’an menjadi semacam motor besar bagi jutaan penganutnya untuk mensahkan perilaku, penyemangat berbagai bentuk jihad, landasan berbagai aspirasi serta digunakan untuk melanggengkan jati diri madzhab atau kekuatan-kekuatan tertentu.  Kegiatan penyalahgunaan al-Qur’an untuk kepentingan ideologi dan politik ini yang ditengarai Arkoun sebagai sumber utama lahirnya ortodoksi dan dogma agama. Masyarakat muslim tradisional menurut Arkoun tidak berdaya menangkap secara jernih pesan tersembunyi dalm al-Qur’an. Arkoun mempertanyakan kembali esensi wahyu sebagai Kalamullah yang suci. Dalam konsep al-Qur’an itu diresmikan secara tertulis oleh Khalifah Ustman bin Affan. Dengan demikian al-Qur’an tidak lebih sebagai produk sejarah. Arkoun menganalisis dengan pendekatan historis-fenomologis yang menyimpulkan bahwa secara historis, al-Qur’an yang kita terima sekarang ini tidak terkait lagi dengan kalam transenden. Ia adalah fenomena bacaan yang diterima oleh nabi Muhammad SAW dalam wujud bahasa Arab. Sebelum ditransformasi menjadi teks tertulis  al-Qur’an adalah wahyu yang disampaikan secar lisan pada periode kenabian. Al-Qur’an dalam bentuk teks (tertulis) sudah tidak lagi mencerminkan bahasa lisannya.
Wahyu pada tingkat pertama, adalah wahyu sakral transenden yang manusia tidak bisa menjaungkaunya. Ia disebut Ummu al-Kitab (kitab induk) yang terjaga di Lauh al-Mahfudz. Dinamakan Ummu al-Kitab, sebab ia adalah sumber dari berbagai kita suci. Dapat ditarik kesimpulan, bahwa Arkoun berkeyakinan ada perbedaan antara edisi Umul kitab dengan edisi yang ditransmisikan kepada para nabi. Tuhan menurunkan wahyunya ke bumi dalam bentuk bahasa manusia, yang tentu berbeda dengan esensi dengan yang di Lauh al-Mahfudz. Sedangkan bentuk edisi kedua adalah fenomena wahyu dalam sejarah. Ia adalah realitas firman Allah. Tuhan mengkomunikasikan kehendak-Nya kepada manusia melalui para nabi. Untuk itu, Tuhan memakai bahasa yang dapat dimengerti manusia, tetapi mengartikulasikan kalimat-kalimat-Nya. Dari pernyataan tersebut secara jelas, Arkoun menyebut al-Qur’an atau kitab-kitab lainnya adalah wacana firman Tuhan. Ia menggunakan term yang dipakai Faucault, yaitu discourse (wacana). Jika al-Qur’an yang turun kepada nabi Muhammad SAW adalah wacana maka, ia termasuk produk historis  dalam istilah Nasr Hamid Abu Zayd, yaitu muntaj tsaqafi (produk budaya).  Mushaf ini menurut Arkoun adalah fakta historis dan budaya. Sehingga ia memiliki beberapa implikasi. Yaitu, wacana Qur’an yang bersifat lisan ditransformasi menjadi teks. Dari oral menjadi tekstual. Sifat suci teks meluas kepada wadah fisiknya, yaitu buku tempat wacana Qur’an dituliskan. Kitab sebagai instrument budaya menjadi dasar perubahan sosial, yaitu dominasi budaya tertulis atas budaya lisan. Menurutnya, dalam proses pembukuan secara resmi terdapat banyak masalah. Sebab, mulanya ia adalah wahyu terbuka tiba-tiba ditutup oleh sang Khalifah secara resmi. Arkoun memaparkan argumennya: Wahyu dalam al-Qur’an pertama-pertama, adalah hasil pembuktian linguistic, struktur sintaksis, dalam semiotika wacana al-Qur’an menyediakan satu ruang komunikasi yang secara total diartikulasikan untuk mengutarakan gagasan dan isi wahyu tersebut.
Meski dalam sejarah, telah terjadi proses sakralisasi mushaf menjadi teks tertutup, namun bagi Arkoun teks al-Qur’an tetap teks yang terbuka. Oleh sebab inilah, al-Qur’an telah melahirkan banyak literatur referensi, doktrin, dan hukum yanb beragam. Itulah sebabnya Arkoun hendak melakukan pemaknaan atau aktualisasi sesuai dengan keadaan nyata. Ia tidak bisa disempitkan menjadi ideologi. Dengan begitu al-Qur’an menjadi teks yang hidup. Berkaitan dengan pemikiran Islam tradisional yang penuh dengan makna-makan transendensi, maka bagi Arkoun, pemikiran tersebut belum tentu sama dengan wahyu ilahi yang sebenarnya. Sebab, pemebentukan pemikiran Islam tidak lepas dari aktualisasi yang dipengaruhi oleh beragam aspek, mulai sosial, politik, dan budaya. Disamping sumber rujukannya adalah kitab tertulis yang menurutnya sudah tereduksi oleh prosedur-prosedur manusiawi. Dari pemikiran demikian, maka Arkoun sebenarnya berpendapat bahwa tafsir, fikih, tasawuf dan lain-lain adalah produk aktualisasi yang terkait dengan sejarah. Syari’ah berarti adalah produk manusia.
Oleh sebab itu, fungsi proyek Kritik Nalar Islam-nya adalah mendekonstruksi wacana keagamaan yang telah diproduksi oleh para ulama’. Sebab, wacana al-Qur’an tidaklah tetap, ia terus berkembang sesuatu kondisi budaya dan ideologi. Dalam hal ini ia menerapkan metode historis untuk kajian al-Qur’an. Peristiwa kodifikasi mushaf yang dilakukan oleh Khalifah Ustman bin Affan mengandung problem serius, yaitu ia bagaikan tonggak awal pengukuhan sistem ortodoksi yang akan akan berpengaruh besar terhadap wacana keagamaan setelahnya. Ia menjelaskan bahwa problem serius tersebut adalah terjadinya kerancuan pemikiran yang memperlebar pemisah antara wahyu periode kenabian yang berbentuk ujaran lisan dengan periode teks tertulis. Ia mengusulkan menggunakan metode historis untuk menguraikan problem ini, sebab dengan metode ini akan tersingkap peristiwa yang tejadi. Problem politis dan psikologis ini telah menjadi tabir mengurung pemikiran Islam dalam logosentrisme. Bahkan logosentrisme tersebut merambah aspek rasional, yakni dalam filsafat Islam. Ciri logosentrisme adalah: Pertama, setiap kegiatan pemikiran dikuasai oleh gambaran dogmatis dari suatu nalar yang mampu mencapai keberadaan Allah, nalar-nalar tunduk kepada wahyu tanpa kecuali. Kedua, aktifitas dari nalar dalam usahanya kembali ke landasan atau oposisi dengan bertitik tolak dari definisi universal, dan esensi-esensi tak berubah. Ketiga, terkungkungnya pemikiran Islam ke dalam logosentrisme itu dalam prakteknya ditunjang oleh agama, budaya, dan Negara, mereka memberi penghormatan terhadap otoritas imam mujtadhid dalam setiap madzhab.

1.                  Kritik Terhadap Pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri
A.    Kritik atas Nalar Arab dan Awal Titik Temunya
Mohammad Abied Al-Jabiri adalah seorang pemikir Arab kontemporer. beliau lahir di Figuig, pada tanggal 27 Desember 1935. Pendidikannya dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi lebih banyak ditempuh di tanah kelahirannya di Maroko. Tiada satupun proyek al-Jabiri yang lebih ambisius melebihi naqd al-‘aql al-‘arabi (Kritik Nalar Arab). Mungkin ada yang bertanya, mengapa nalar Arab, bukan nalar Islam seperti misalnya yang dipakai Muhammad Arkoun. Al-Jabiri menjelaskan, selain alasan bahwa literature-literatur yang digelutinya adalah literature klasik berbahasa Arab dan lahir dalam lingkungan geografis, cultural dan  social politik masyarakat Arab, proyek kritik nalar Arab ini berbeda dengan proyek kritik nalar Islamnya Arkoun. Arkoun memperluas cakupan kritik nalar Islamnya hingga ke tradisi pemikiran non-bahasa Arab, sedangkan al-Jabiri membatasi jangkauan kritiknya pada tradsisi pemikiran yang menggunakan bahasa Arab dan yang lahir dalam lingkungan masyarakat Arab dalam lingkungan geografis dan kultur tertentu. Selain itu, kritik al-Jabiri bukanlah kritik teologis yang menaruh perhatian besar pada persoalan-persoalan Ketuhanan, wahyu, ortodoksi dan aliran-aliran kalam. Kritik al-Jabiri adalah kritik epistemoligis. Yakni kritik yang di tujukan kepada kerangka dan mekanisme berfikir yang mendominasi kebudayaan Arab dalam babakan-babakan sejarah tertentu. Maka, konsep-konsep dan tema-tema yang digeluti al-Jabiri adalah yangbanyak muncul dalam lingkungan bahasa Arab, seperti makna atau teks, ashal, majaz, dan juga masalah bahasa Arab dalam kapasitasnya sebagai wadah pemikiran yang menentukan batas-batas pandangan dunia dan cara-cara berfikir orang-orang yang menggunakannya. Tegasnya, al-Jabiri ingin mengungkapkan kecenderungan epistemologi yang terlahir dari bangsa Arab.
      Setelah mengamati batas-batas pengertian nalar Arab. kemudian, al-Jabiri menjelaskan maksud aql (akal, nalar) dalam kritik nalar Arab, yaitu la raison constituee (‘aql mukawwan), yakni himpunan aturan-aturan dan hukum-hukum (berpikir) yang diberikan oleh kultur Arab bagi penganutnya sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan. Artinya, himpunan aturan-aturan dan hokum-hukum (berpikir) yang ditentukan dan dipaksakan (secara tidak sadar) sebagai episteme oleh kultur Arab. Akal tidak lagi terkait dengan satu proses koheren, yang sadar dan transenden. Akal kini dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat tidak sadar dan kolektif,yaitu sebagai sistem yang memaksakan aturan-aturan dan hokum-hukumnya dalam satu lingkungan kebudayaan tertentu. Jadi, al-Jabiri bukan hanya memperkenalkan pengertian nalar Arab sebagai sebuah system, tetapi juga mengaitkan nalar tersebut dengan hiostoritas dan ketidak sadaran.[5]  
Akal Arab dalam triloginya, yaitu kumpulan prinsip dan kaidah yang diberikan oleh peradaban Arab kepada para pengikutnya sebagai landasan memperoleh pengetahuan, atau aturan epistemologis, yakni sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang menjadi struktur bawah sadar dari pengetahuan dalam fase sejarah tertentu. Jabiri melihat bahwa kumpulan konsep dan prosedur pemikiran yang mengatur dengan ketat pola pandang orang Arab dan pola interaksinya dengan sesuatu itu memang ada. Berarti, orang Arab adalah individu anak manusia yang akalnya terbuka, tumbuh dan berkembang dalam dalam peradaban Arab, hingga (peradaban Arab itu) memformat referensi pemikirannya yang utama, kalu bukan satu-satunya.[6] 
Dalam hal ini Jabiri membagi akal menjadi dua. Pertama adalah ‘Aql al-Mukawwin. Akal dalam pengertian ini disebut dengan nalar (akal) murni, sesuatu yang membedakan manusia dengan hewan. Semua manusia mempunyai akal tersebut. Sedangkan yang kedua adalah ‘Aql al-Mukawwan. Akal dalam pengertian kedua ini disebut nalar (akal) budaya, yaitu suatu nalar manusia yang dibentuk oleh budaya masyarakat tertentu di mana orang tersebut hidup.[7] Yang kedua inilah yang Jabiri maksud sebagai “Akal Arab”. Setelah itu Jabiri mengulas mengenai titik awal Akal Arab bermula. Sebagaimana diketahui, ada tiga titik pijak yang biasa digunakan sebagai permulaan penulisan sejarah Arab, yaitu masa Jahiliyah, masa Islam, dan masa kebangkitan.
Al-Jabiri kemudian mengarahkan perhatiannya, sebagai titik awal yaitu pada periode pembakuan dan pembukuan (‘ashr tadwin) ilmu-ilmu keislaman di abad ke-2 H (sekitar abad 8 M). Pendekatan ini tentu berbeda dengan tradusi sejarah pemikiran Islam klasik yang mematok masa jahiliyyah atau masa kelahiran Islam sebagai titik awal. Menurutnya, kita tidak tahu banyak tentang sejarah jahiliyah dan sejarah awal Islam kecuali setelah di-“rekontruksi” oleh periode tadwin. Sehingga membatasi segala hal yang diketahui dan yang tidak diketahui tentang kedua frase sejarah tersebut. Nalar yang kita terima saat ini dan yang kita pakai untuk menafsirkan, menilai dan memproduksi pengetahuan adalah nalar yang tidak pernah berubah sejak awal diresmikan dari masa tadwin. Maka, dalam konteks “otoritas rujukan epitemologis” ini, al-Jabiri mengamati munculnya tiga sistem pemikiran (episteme) yang masin-masing berbeda. Dengan pendapat bahwa sruktur akal Arab telah dibakukan pada disistematisasikan pada masa kodifikasi tersebut, sehingga konsekuensinya, dunia berpikir yang dominan pada masa itu mempunyai kontribusi terbesar dalam menentukan orientasi pemikiran yang berkembang kemudian, di satu pihak, dan mempengaruhi persepsi kita terhadap khazanah pemikiran yang berkembang pada masa sebelumnya.[8]
B.     Epistemologi: Burhani, Bayani, dan ‘Irfani Menurut al- Jabiri
Jabiri sangat menekankan epistemologi pemikiran Arab kontemporer sebagai jalan untuk menghadapi modernitas. Jabiri memetakan perbedaan prosedural antara pemikiran yang bermuatan ideologis dengan epistemologis filsafat Arab. Menurutnya, muatan epistemologis filsafat Arab-Islam, yakni ilmu dan metafisika memiliki dunia intelektual berbeda dengan muatan ideologisnya, karena pada muatan yang kedua (muatan ideologis) terkait dengan konflik sosio-politik ketika ia dibangun. Kedua istilah itu (epistemologis-ideologis) sering dipakai Jabiri dalam studinya tentang Akal Arab. Seorang tokoh bisa saja menggunakan pisau pemikiran yang sesuai untuk memecahkan problematika yang dihadapinya.
Jabiri mencatat adanya sebuah problematika struktural mendasar pemikiran dalam struktur Akal Arab, yaitu kecenderungan untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namuzhaj salafi). Kecenderungan inilah yang menyebabkan wacana agama terlalu berbau ideologis dengan dalih otentisisme (ashalah). Padahal menurutnya, dalam membangun model pemikiran tertentu, pemikiran Arab tidak bertolak dari realitas, tetapi berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang. Menurut Jabiri, tradisi (turats) dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warisan kebudayaan masa lampau, tetapi sebagai bagian dari penyempurnaan akan kesatuan dalam ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas doktrin agama dan syariat, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, dan harapan-harapan. Tradisi bukan dimaknai sebagai penerimaan secara totalitas atas warisan klasik, sehingga istilah otentisitas menjadi sesuatu yang diperdebatkan maksudnya yaitu, pertama epistemologi bayani yang didasarkan atas teks suci. Bayani merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab.[9] Ia menjadi dominan dalam bidang keilmuan yang menjadikan ilmu bahasa Arab sebagai tema sentralnya, seperti balaghah, nahwu, fiqih dan ushul fiqih, serta kalam. Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana. Sistem ini didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua, epitemologi irfani  yang didasarkan pada wahyu dan pandangan dalam sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi. Ketiga, epitemologi burhani yang didasarkan  pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi intelektual. [10] Jika disingkat, metode bayani adalah tekstual yang melahirkan para fuqaha, metode ‘irfani adalah intuitif yang melahirkan para sufi , dan metode burhani adalah rasional yang melahirkan filosof dalam epistemologi umumnya.[11]
             Namun al-Jabiri lebih banyak mempertentangkan epistemologi  bayani dengan  epistemologi ‘irfani dari pada dengan epistemologi burhani, dengan menarik garis batas antara rasionalitas agama yang diletakkan pada epistemologi bayani dengan irasionalitas yang rasional yang dilekatkan pada epistemologi ‘irfani. Sedangkan al-Jabiri sendiri berpihak terhadap epistemologi burhani. Pasalnya, dalam berbagai kesempatan ia senantiasa menegaskan komitmennya pada rasionalisme dan mengajak untuk melakukan rasionalisme kritis untuk menjawab tantangan modernitas seperti yang telah dilakukan oleh peradaban Andalusia yang dimotori oleh Ibn Rusyd. Secara ideologis, dalam arti sebagai sebuah pandangan dunia, disatu sisi, ia berpihak pada rasionalisme bayani yang bersumber pada pandangan dunia al-Qur’an.Sehingga dengan ini dia tidak mengakui model epistemologi irfani yang tidak rasional. Tapi, disisi lain, ia mengkrirtik aspek epistemologi nalar bayani yang menjadikan pemikiran atau kegiatan bernalar terpaku pada teks atau dasar-dasar  (yang dikenal dengan Ushul al-arba’ah : al-qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas) yang dipatok sebagai sesuatu yang baku dab tidak berubah. Meski pada awalnya pandangan dunianya adalah pandangan dunia rasional model al-Qur’an, tapi bentuk bernalar semacam ini secara gradual beralih menjadi pandangan dunia tersenderi. Oleh karena itu, tawaran yang dikemukakan kalangan pendukung nalar burhani untuk menutupi kekurangan epistemologi nalar bayani ini, dalam pengamatan al-Jabiri merupakan jalan keluar dari pandangan tidak rasional tersebut. 



BAB III
PENUTUP


A.                Kesimpulan
1.      Dengan konsep pemikirannya tersebut di atas, Arkoun termasuk kategori pemikir muslim potmodernis. Peninjauan kritis yang dilakukan Arkoun terhadap pemikiran dan tradisi Islam dilakukan dengan melakukan pembacaan ulang terhadap al-Qur’an. Pembacaan yang dimaksud adalah pembacaan interpretatif terhadap al-Qur’an. Pembacaan ini tidak lain adalah merupakan dekonstruksi. Sebab, dengan menggunakan perangkat-perangkat ilmu Barat-modern, Arkoun mengubah status al-Qur’an. Sebagaimana diketahui Arkoun lebih suka menguraikan pemikiran dalam karyanya dengan menggunakan bahasa Prancis dan menggunakan term-term ilmu-ilmu sosial dan linguistik modern. Jadi bahasa Prancis dan term-term ilmu modern oleh Arkoun merupakan kosakata umum. Gagasan Arkoun ini melepaskan kenyataan bahwa term-term itu merupakan produk lokalitas Barat.
2.      Bagaimanapun juga pemikiran Jabiri terlepas dari pro dan kontra terhadap Kritik Nalar Arabnya, dan pemikiran yang patut diapresiasi. Pemetaan yang dilakukannya terhadap epistemologis dan ideologi yang berkembang di dunia Arab memberikan warna baru dan ciri khasnya tersendiri.




DAFTAR PUSTAKA

Aksin Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004.
Fazlurrahman Faruqi and Arkoun,  Makalah Post-modernist Muslim Thought, yang didiskusikan di beberapa kampus di Indonesia, Oktober 1994.
Happy Susanto, Geliat Baru Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela,  2003.


John L. Esposito, dkk. Dialektika Peradapan: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, Yogjakarta:  Qalam, 2002.
Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tardisionalisme Islam, Terj. Ahmad Baso, Yogyakarta : LKiS, 1998.
Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, Alih bahasa: Moch. Nur Ichwan,Yogyakarta: Islamika, 2003.
Suadi Putro, Mohammed Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, cet. I Jakarta: Paramadina, 1998.







[1] John L. Esposito, dkk, Dialektika Peradapan: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, (Yogjakarta:  Qalam, 2002), hlm 31.
[3] Mohammed Arkoun,  Logocentrisme et verite religieuse dans la pensee Islamique dalam Studia Islamica (Paris: ttp,1972), hlm. 12-15, yang dikutip dalam Suadi Putro, Mohammed Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, cet. I (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 38.

[4] Fazlurrahman,Faruqi and Arkoun,  Makalah Post-modernist Muslim Thought, yang didiskusikan di beberapa kampus di Indonesia, Oktober 1994.

[5] Kesadaran disini dimaksudkan sebagai ketidaksadaran kognitif yang berarti “himpunan konsep-konsep, presepsi dan kegiatan penalaran yang menentukan pandangan orang-orang yang berafiliasi dengan kebudayaan Arab tentang alam, manusia, masyarakat dan sejarah. (Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tardisionalisme Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta : LKiS, 2000), hlm. XXXII.
[6] Muhammad Abd Al-Jabiri, Post Tardisionalisme Islam........ hlm. XXX.
[7]Aksin Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hlm. 71.
[8] Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis Terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri,” dalam Muhammad Aunul Abied Syah, dkk, ed. Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 310-311.
[9] Walid Harmaneh, “Kata Pengantar,” dalam Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, Alih bahasa: Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. xxvii.
[10] Muhammad Anual, Pemikiran Islam Timur Tengah........... hlm. 315-321.
[11] Happy Susanto, Geliat Baru Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela,  2003), hlm. 304.