PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME DALAM PERSFEKTIF FILOSHOFIS
Makalah ini disusun Guna Memenuhi Mata Kuliah
Pendidikan Multikulturalisme dalam Islam
Dosen Pengampu: Dr. Mahmud Arif, M. Ag.
Oleh:
Ulin Nuha
(1120410062)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCA SARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah
satu negara dengan potensi pluralis dan multikultural terbesar di dunia.
Kenyataan ini dapat dilihat dari dinamika kehidupan masyarakat yang beragam,
baik dalam aspek keagamaan, suku bangsa, bahasa maupun budaya. Keragaman yang
ada, sesungguhnya dapat menjadi salah satu potensi besar bagi kemajuan bangsa.
Namun di lain pihak, juga berpotensi menimbulkan berbagai macam permasalahan
apabila tidak dikelola dan dibina dengan baik. Umat muslim sebagai pemeluk
agama yang mayoritas, harus berperan aktif dalam mengelola dimensi keragaman
bangsa ini. Pendidikan Islam sebagai salah satu instrumen penting peradaban
umat, perlu dioptimalkan sebaik mungkin untuk menata dinamika keragaman agar
dapat menjadi potensi kemajuan.
Multikulturalisme adalah sebuah
filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya
persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial
politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering
digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda
dalam suatu negara. Pendidikan Multikultural sebagai ide
adalah suatu filsafat yang menekankan legitimasi, vitalitas dan pentingnya
keragaman kelas social, entnis dan ras, gender, anak yang berkebutuhan khusus,
agama, bahasa, dan usia dalam membentuk kehidupan individu, kelompok, dan bangsa.
Sebagai sebuah ide, maka pendidikan multikultural ini harus mengenalkan
pengetahuan tentang berbagai kelompok dan organisasi yang menentang penindasan
dan eksploitasi dengan mempelajari hasil karya dan ide yang mendasari karyanya.
Implikasinya
terhadap pengembangan Pendidikan Multikultural adalah pemasukan bahan ajar yang
berisi ide dari berbagai kelompok budaya. Pendidikan memang mengajarkan
nilai-nilai budayanya sendiri namun selain itu juga perpekstif dan budaya orang
lain diwilayah orang lain diseluruh dunia. Hal ini dapat membuat siswa “melek
budaya” (cultural literacy) yang mampu melihat berbagai sudut pandang budaya
yang pernah hidup diberbagai belahan dunia.
Dalam filsafat multikulturalisme
tidak dapat lepas dari dua filosof kontemporer yakni, John Rawls dari Harvard
University dan Charles Taylor dari McGill University. Rawls adalah penganut
liberalisme terutama dalam bidang etika dan Taylor dalam filsafat budaya dan
politik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat
Pendidikan Multikultural
Dalam mengkaji hakikat multikultural
memelalui pendekatan filosofis ada beberapa hal yang menjadi pokok bahasan,
yaitu:
1. Landasan Epistimologi Multikultural
Sudah menjadi sunnatullah bahwa
manusia diciptakan dalam keberagaman, perbedaan dan kesederajatan. Melihat
realitas kehidupan manusia banyak yang tidak menyadari akan esensi dirinya. Hal
ini dapat dilihat sepanjang sejarah kehidupan manusia banyak terjadi konflik
dan pertumpahan darah, mulai zaman Qabil dan Habil sampai zaman sekarang.
Terjadinya konflik dan pertumpahan darah tersebut, karena antara manusia dengan
manusia lainnya tidak menerima atau mengakui atas perbedaan, kebaragaman, dan kesederajatan.[1]
Dalam dunia pragmatis, Indonesia sebagai
sebuah negara yang multikultural telah menjadi sebuah realitas yang tidak
terbantahkan. Multikulturalisme telah menjadi paradigma yang tidak saja
mengandaikan hadirnya keanekaragaman elemen sosial budaya, tetapi juga proses
peleburan antara elemen yang satu dengan elemen yang lainnnya ke dalam sebuah
bejana sosial budaya yang berubah-ubah dan mencair. Disayangkan sekali
keanekaragamaan yang ada dimasa orde baru dikelola dalam satu keseragaman yang
represif, sehinggga multikulturalitas kebangsaan Indonesia menjelma menjadi
suatu sosok yang mengerikan, ibarat bom yang bisa meledak sewaktu-waktu. Karena
itu multukulturalisme bangsa Indonesia tidak dimengerti sebagai sesuatu yang
given, takdir dari sang Pencipta, melainkan seolah sebagai sesuatau yang
dibentuk oleh manusia.
Dengan kata lain multikulturalitas
kebangsaan terkooptasi logosentrisme tafsir hegemonik yang syarat dengan
prasangka, kecurigaan, kebenciaan atau sebagai momok yang harus disingkirkan.
Maka, realitas multikulturalitas kebangsaan tidak dilihat lagi sebagai suatu
realitas yang memberikan energi positif, melainkan sebagai sumber ledakan
destruktif yang menghancurkan pilar-pilar kemajemukan. Multikulturalitas kebangsaan yang kita lihat
saat ini belum sempurna menjadi suatu realitas kebangsaan yang membanggakan
atau menjadi kebanggan dalam keberbangsaan. Perbedaan kebangsaan padahal harus
dihayati, sehingga perbedaan itu dapat ditangkap dan kemudian dikelola untuk
menghasilkan perekat-perekat dalam menyatudarakan anatara yang satu dengan yang
lain. Jika tidak, perbedaan, keanekaragaman dalam kebersamaan tetap dirasakan
asing bagi diri sendiri dan kelompok. Kemudian apabila gejala tersebut
dibiarkan, menurut Thomas Konte bahwa paradigma multikulturalisme bangsa harus
membuka diri untuk mendialogkan hal-hal yang dianggap dapat menimbulkan
pertikaian dan perpecahan diantara anak bangsa.
Pemikiran Thoman Konte tersebut didasari atas
fenomena pada masa orde baru, Suharto dengan watak kekuasaan yang begitu
represif dan sangat terobsesi melakuakan oenyeragamaan sosial budaya melalui
kampanye ideologis yang terstruktur diberbagai lembaga pemerintahan. Tragisnya,
dunia pendidikan pun dijadikan ladang persemaian ideologi penyeragaman lewat
desain-desain kurikulumnya. Maka peradaban bangsa ini pun tidak terkelola
dengan baik dan berkembang semestinya. Perlu diingat, bahwa sejarah peradaban
bangsa-bangsa besar adalah sejarah
mengelola multikulturalitas yang dimilikinya. Hancurnya negara Yugoslavia
disebabkan oleh tidak terkelolanya multikulturalitas kebangsaannya. Indonesia
di ambang kehancuran di era pascareformasi juga disebabkan oleh tidak
terkelonya dengan baik multikulturalisme.[2]
Sebagai sebuah
konsep, kemunculan multikulturalisme tidak terlepas dari pengaruh filsafat
post-modernisme, yang berangkat dari pemikiran tentang ketidakpercayaan
terhadap segala bentuk narasi besar dan penolakan terhadap segala bentuk
pemikiran yang mentotalisasi atau menjeneralisasi. Selain menolak pemikiran
yang totaliter, filsafat post-modernisme juga menghaluskan sensitifitas manusia
terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi terhadap realitas yang
terukur. Post-modernisme menolak kebenaran tunggal atau yang bersifat absolut
dan menghindari sikap klaim kebenaran (truth claim).
Kebenaran diyakini bersifat jamak dan hakikat dari semua, termasuk kehidupan
manusia itu dalam semua aspeknya adalah berbeda (all is difference).[3]
Filsafat post-modernisme yang
muncul sebagai bentuk protes terhadap pemikiran filsafat modernisme, melahirkan
beberapa bentuk pemikiran yang sangat mendasar, seperti realisme, relativisme,
dan humanisme. Salah satu dampak positif yang menonjol dari pemikiran
post-modernisme adalah lahirnya pengakuan akan pluralitas kehidupan. Bagi
post-modernisme, kenyataan adanya masyarakat plural itu menjadi suatu fakta
yang tidak bisa disangkal. Hal ini harus diperkuat dengan membangun prinsip
kesadaran pluralisme dan multikulturalisme, yakni paham yang mengakui adanya
keragaman dalam kehidupan sekaligus memperlakukan orang lain secara sama secara
proporsional.
Pengokohan multikulturalisme
yang berangkat dari pemikiran filosofis di atas, perlu menjadi bahan
pertimbangan untuk dikembangkan dalam pendidikan Islam. Landasan epistemologi
yang telah dibangun dengan cukup jelas oleh aliran filsafat post-modernisme
dalam usaha mengakomodasi fakta keragaman maupun perbedaan, sesungguhnya dapat
menjadi tambahan referensi yang ilmiah untuk memformulasi pendidikan Islam
multikultural secara lebih baik. Tentu dalam proses ini diperlukan sikap
adaptif-kritis agar konsep-konsep tersebut tetap sejalan dengan spirit dan
prinsip-prinsip ajaran Islam.
Paradigma multikultural secara
implisit juga menjadi salah satu fokus dari Pasal 4 Undang-undang N0. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Bab III yang membahas prinsip
penyelenggaraan pendidikan. Melalui pasal ini dijelaskan bahwa pelaksanaan
pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), nilai keagamaan, nilai kultural
(budaya) dan kemajemukan bangsa, sesuai dengan nilai-nilai dasar Negara, yakni
Pancasila. Melalui dasar yuridis ini, maka pelaksanaan pendidikan Islam di
Indonesia secara legal formal perlu memperhatikan aspek-aspek demokratis,
keadilan, HAM, nilai-nilai atau norma (values) serta pengakuan terhadap aspek
keragaman. Pengakuan terhadap segala bentuk keragaman tentu saja tidak cukup,
karena itu diperlukan upaya untuk menyikap keragaman dengan perlakukan yang
berlandaskan pada asas keadilan.
2. Landasan
Ontologi
Untuk melihat multikultural secara
ontologis, maka kita harus menelusuri dari akar kata multikultural itu sendiri.
Akar kata multikultural terdiri atas multi artinya banyak, kultur artinya
budaya, sedang isme pada kata multikultural bararti aliran/paham. Jadi, maksud
dari multikultural adalah budaya yang beragam, sedangkan apabila telah mendapat
akhiran isme artinya telah menjadi suatu
pemahaman atau aliran multikultural ( yang meyakini tentang adanya
keberagaman).
Multikulturalisme
secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer
Oxford Dictionary istilah multiculturailsm
merupan deviasi dari kata multicultural. Kamus ini menyetir kalimat dari surat
kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal
sebagai masyarakat Multicultural dan multilingual.
Kemudian penegertian kultur ada cukup banyak
ilmuan yang memberikan definisi sebagaimana dalam M. Ainul Yaqin diantaranya:
Julian Steward (1902-1972) dan Leslie White (1900-1975), menjelaskan bahwa
kultur adalah sebuah cara bagi manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan dan
membuat hidupnyatrejamin. Mary Douglas (1921) dan Cliffort Getts (1926-2006),
berpendapat bahwa kultur adalah sebuah cara yang dipakai oleh semua anggota
dalam sebuah kelompok masyarakat untuk memahami siapa diri mereka dan untuk
memberi arti pada kehidupan mereka. Sedang Vincent Crapanzano (19390),
berpendapat bahwa kultur tidak akan pernah dapat digambarkan dengan komplit dan
jelas karena pengertian-pengertian tentang kultur pasti mereflesikan bias-bias
dari para peneliti.[4]
Pengertian para ahli tersebut tidak untuk
dipertentangkan, tetapi harus dicari titik temunya. Sebagaimana yang diungkapkan Parsudi Suparlan
dalam Choirul Mahfud bahwa pengertian kebudayaan diantara para ahli harus
dipersamakan, setidak-tidaknya, tidak dipetentangkan antara satu konsep dengan
konsep yang dipunyai oleh ahli lainnya. Karena multikulturalisme itu adalah
sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia
dan kemanusiaannya, maka konsep keb udayaan harus dilihat dalam persfektif
fungsinya bagi kehidupan manusia.[5]
Lebih lanjut Parsudi Suparlan memaparkan
bahwa dalam persfektif tersebut, kebudayaan adalah sebagai pedoman bagi
kehidupan manusia. Yang harus diperhatikan bersama menyangkut kesamaan pendapat
dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan
itu bekerja melalui pranata-pranata sosial. Sebagai sebuah ide atau
ideologi multikulturalisme terserap ke dalam berbagai interaksi yang ada dalam
berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia, kehidupan ekonomi dan bisnis,
kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang
bersangkutan, termasuk dalam kehidupan beragama.[6]
Jadi, dapat dipahami bahwa keanekaragaman budaya
multikultural dalam masyarakat harus dipahami sebagai suatu keniscayaan yang
tidak terbantahkan. Dalam keragaman kultur ini meniscayakan akan adanya
pemahaman, saling pengertian, toleransi, dan sejenisnya agar tercipta suatu
kehidupan yang damai dan sejahtera dan terhindar dari konflik berkepanjangan.
Apabila telah tertanam dalam diri pemahaman seperti itu, maka menjadilah suatu
ideologi yang disebut dengan multikulturalisme. Dari sinilah muncul pertanyaan
apakah multikulturalisme itu? Dalam menjawab pertanyaan ini, kita akan melihat
pendapat para ahli, diantaranya: Abdullah mengemukakan bahwa multikulturalisme
adalah sebuah paham yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan pada
budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang
ada. Dengan kata lain penekanan multikulturalisme adalah pada kesetaraan
budaya.
Multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman
budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat.[7] Kearifan itu akan muncul, jika
seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat keadaan
realitas yang plural sebagai satu kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Multikulturalisme adalah sebuah
filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya
persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial
politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering
digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda
dalam suatu negara.
Ada beberapa titik kesamaan yang
mempertemukan keragaman definisi yang ada tersebut. Salah satunya dapat
dilakukan lewat pengidentifikasian karakteristiknya. Conrad P. Kottak (1989),
menjelaskan bahwa kultur memiliki beberapa karakter khusus, antara lain:[8]
a. Kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik
sekaligus.
b. Kultur adalah sesuatu yang dipelajari.
c. Kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu
yang alami.
d. Kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara
bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok
masyarakat.
Dari karakteristik ini, dapat dikembangkan pemahaman terhadap
multikulturalisme, yaitu sebuah pemahaman tentang kultur yang beragam. Dalam
keragaman kultur ini meniscayakan pemahaman, saling pengertian, toleransi dan
sejenisnya, agar tercipta suatu kehidupan yang damai dan sejahtera serta
terhindar dari konflik berkepanjangan.
Multikulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau
wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya, maka konsep
kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.[9]
Untuk memahami multikulturalisme, dibutuhkan alternatif pemaknaan
tentang ideologi. Pandangan dua tokoh berikul ini yaitu Antonio Gramsci dan
Michel Bahktin tampaknya penting untuk dilihat. Menurut mereka, ideologi lebih
merupakan masalah partisipasi daripada dominasi atau manipulasi, dalam arti
luas lebih merupakan persoalan pandangan dunia daripada propaganda partisan.[10]
Intinya, multikulturalisme meyakini bahwa ketika orang-orang hidup
saling berdekatan, ada keharusan interaksi antara kebudayaan-kebudayaan. Tak
seorang pun dapat hidup terisolasi sepenuhnya. Yang kita butuhkan untuk saling
mengenal keragaman budaya nusantara dan mancanegara adalah pendidikan.
Dengan demikian multikulturalisme adalah sebuah konsep di mana
sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengetahui keberagaman,
perbedaan dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis maupun agama. Ia
merupakan konsep yang memberikan pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural dan
majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam
(multikultural). Dan bangsa yang multikultural adalah bangsa yang
kelompok-kelompok etnik atau budaya (ethnic and cultural groups) yang ada dapat
hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co existensi yang ditandai oleh
kesediaan masing-masing kelompok untuk menghormati dan menghargai budaya lain.[11]
B. Hakikat
atau Nilai Filosofis Pendidikan Multikultural
Untuk melihat hakikat atau nilai-nilai
filosofis yang terkandung dalam pendidikan multikultural, maka hal yang
mendasar yang harus difahami adalah hakikat manusia, hakikat pendidikan dan
hakikat multikultural. Hal ini penting, karena dengan memahami hakikat manusia
yang terdiri dari dua unsur pokok yaitu: jasad/jasmani dan jiwa (roh, qalb, dan
akal), maka pendidikan yang dibutuhkan oleh manusia adalah pendidikan yang
dapat mengembangkan dan mengarahkan potensi-potensi manusia tersebut.
Kemudian, hal lain yang harus dipahami dalam mengkaji
hakikat atau nilai-nilai filosofis pendidikan multikultural adalah; perlu
melihat latar belakang atau hal yang mendasari munculnya pendidikan
multikultural, konsep dan urgensinya. Berikut ini akan diuraikan secara
komperhensif dalam bentuk sub pembahasan.
1. Larat
belakang Munculnya Pendidikan Multikultural
Istilah multikulturalisme pertama kali muncul
di Amerika dan negara Eropa Barat sekitar tahun 1969-an.. Di negara ini kebudayaan
didominasi oleh kaum imigran kulit putih dengan budaya WAPS, yaitu kebudayaan
putih (white), dari bangsa yang berbahasa Inggris (Anglo Saxon)
yang beraganma protestan. Nilai-nilai WAPS inilah yang menguasai mianstream
kebudayaan di Amerika Serikat. Dengan demikian, terjadilah segresi dan
diskriminasi bukan hanya dalam bidang ras tetapi juga dalam bidang agama,
budaya dan gaya hidup.[12]
Dalam konteks di Indonesia, kenyataan yang
tidak dapat ditolak bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia terdiri dari berbagai
keragaman sosial, kelompok etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan lainnya,
sehingga masyarakat dan babgsa Indoonesia secara sederhana dapat disebut
sebagai masyarakat multikultural. Pada pihak lain realitas multikultural
tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali
kebudayaan nasional Indonesia, atau budaya bangsa yang dapat menjadi integrating
force yang dapat mengikat seluruh
keragaman etnis, suku bangsa dan budaya tersebut.[13]
Kemultikulturan
masyarakat Indonesia paling tidak dapat dilihat dari dua cirinya yang unik,
yaitu secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan
sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat, serta perbedaan
kedaerahan, dan secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan
vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Kondisi
tersebut tergambar dalam prinsip bhinneka tunggal ika, yang berarti meskipun
Indonesia adalah berbeda-beda, tetapi terintegrasi dalam kesatuan. Namun
demikian, pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan, khususnya pada masa
demokrasi terpimpin Presiden Soekarno dan masa Orde Baru Presiden Soeharto
memperlihatkan kecenderungan kuat pada politik monokulturalisme. Azyumardi Azra
mengemukakan bahwa dalam politik ini, yang diberlakukan bukannya penghormatan
terhadap keragaman (kebhinnekaan, atau multikulturalisme), tetapi sebaliknya
adalah keseragaman (monokulturalisme) atas nama stabilitas untuk pembangunan.
Berakhirnya sentralisasi Orde Baru yang memaksakan monokulturalisme, pada
gilirannya telah memunculkan kesadaran akan pentingnya memahami kembali
kebhinnekaan, multikulturalisme Indonesia. [14]
Di
samping itu, wacana multikulturalisme Indonesia yang semakin
mendapat tempat dalam masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa kondisi,
yang Pertama, desentralisasi mendorong ditingkatkannya batas-batas identitas
kebudayaan di Indonesia, baik identitas etnik, agama maupun golongan. Integrasi
sosial dan nasional mendapat tantangan besar dari perubahan yang terjadi.
Kedua, desentralisasi politik masa kini sangat kurang memperhatikan dimensi
kebudayaan. Keputusan untuk melaksanakan desentralisasi lebih pada keputusan
politik oleh para elit politik partai ketimbang mempertimbangkan dimensi
kebudayaan yang sesungguhnya sangat mendasar dan penting. Ketiga, ketika
batas-batas kebudayaan itu semakin nyata dan tajam, dan orientasi
primordialisme mulai memicu konflik yang tajam antar etnik, agama, dan
golongan, dan gejala ini dikuatirkan mengancam integrasi bangsa, para elit
politik tergesa-gesa mencari obat penawarnya, mencari strategi untuk membangun
kembali integrasi bangsa dan kebudayaan mulai diperhatikan.
Berkaitan
dengan beberapa kondisi di atas, bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi
adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia”. Berbeda dengan
masyarakat majemuk yang menunjukkan keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan
suku bangsa, multikulturalisme dikembangkan dari konsep pluralisme budaya
dengan menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah
masyarakat. Multikulturalisme ini mengusung semangat untuk hidup berdampingan
secara damai (peaceful co-existence) dalam perbedaan kultur yang ada baik
secara individual maupun secara kelompok dan masyarakat. Individu dalam hal ini
dilihat sebagai refleksi dari kesatuan sosial dan budaya di mana mereka menjadi
bagian darinya. Dengan demikian, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka
tunggal ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi
keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
2. Konsep
Pendidikan Multikultural
Pada dasarnya, pendidikan Multikultural adalah pendidikan yang
menghargai perbedaan. Pembelajaran berbasis Multikultural di era globalisasi
ini merupakan dasar pokok yang harus dimiliki oleh para pendidik, karena dalam
pembelajaran ini pendidik harus merubah cara pandang mereka terhadap obyek
pembelajaran (anak didik) tidak hanya dianggap sebagai individu tetapi harus
ditempatkan sebagai warga lokal dan global.
Sebagai sebuah wacana baru,
pengertian pendidikan multikultural sesungguhnya hingga saat ini belum begitu
jelas dan masih banyak pakar pendidikan yang memperdebatkannya. Namun demikian,
bukan berarti bahwa definisi pendidikan multikulturaltidak ada atau tidak jelas
keberadaannya. Dalam menafsirkan pendidikan multikultural terdapat perbedaan
antara satu pakar dengan pakar lainnya, semua itu tergantaung pendekatan yang
digunakan oleh para pakar tersebut.
Meminjam pendapat andersen dan
cusher (1994:320), bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai
pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian James Banks (1993:3),
mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of
color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai
keniscayaan (anugerah Tuhan/Sunatullah). Kemudian, bagaimana kita mampu
mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.[15]
Ada dua istilah yang penting
berdekatan secara makna dan merupakan suatu perkembangan yang berkesinambungan,
yakni pendidikan multietnik dan pendidikan multikultural. Pendidikan multietnik
sering digunakan di dunia pendidikan sebagai suatu usaha sistematik yang
berjenjang dalam rangka menjembatani kelompok-kelompok rasial dan
kelompok-kelompok etnik yang berbeda dan memiliki potensi untuk melahirkan
ketegangan dan konflik. Sementara itu, pendidikan multikultural memperluas
payung pendidikan multietnik sehingga memasukkan isu-isu lain seperti gender,
hubungan antar agama, dll.[16]
Menurut HAR Tilaar pendidikan
multikultural tidak bertujuan untuk menghilangkan perbedaan, akan tetapi
menghilangkan prasangka, menimbulkan dialog, mengenal perbedaan sehingga timbul
rasa saling menghargai dan mengapresiasi. Dari sini diharapkan akan muncul
modal kultural bangsa, karena bangsa yang kehilangan modal kultural akan sangat
rawan perpecahan.[17]
Tatanan kehidupan sosial masyarakat
yang multikultural akan terwujud dalam prilaku yang saling menghormati,
menghargai perbedaan keragaman kiebudayaan dalm kesederajatan dan menjaga satu
dengan yang lainnya dalam prinsip-prinsip perbedan tersebut.[18]
Dalam hal ini perlu adanya
pendekatan dalam pendidikan multikultural. Mendesain pendidikan multikultural
dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok, budaya, suku
dan lain sebagainya, seperti Indonesia, mengandung tantangan dan rintangan yang
tidak ringan. Perlu disadari bersama bahwa pendidikan multikultural tidak hanya
sebatas merayakan keragaman. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih
penuh diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya, atau perbedaannya
dari budaya yang dominan akan berjalan dengan aman dan harmoni.[19]
Dalam bukunya, Choirul Mahfud
menyebutkan lima pendekatan dalam proses pendidikan multikultural.[20] Pertama, tidak lagi menyamakan
pandangan pendidikan dengan persekolahan atau pendidikan multikultural dengan
program-program sekolah formal. Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan
kebudayaan dengan kelompok etnik. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan
kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi
selama ini.
Ketiga, karena pengembangan
kompetensi dalam suatu kebudayaan baru biasanya membutuhkan interaksi inisiatif
dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, maka dapat dilihat lebih
jelas upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik
merupakan antithesis terhadap tujuan pendidikan multikultural.
Keempat, pendidikan multikultural
meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kelima, kemungkinan bahwa
pendidikan (baik formal maupun non-formal) meningkatkan kesadaran tentang
kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan
menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan
non-pribumi.
Pendidikan multikultural adalah
suatu keniscayaan. Ia merupakan paradigm dan metode untuk menggali potensi
keragaman etnik dan kultural nusantara, dan mewadahi dalam suatu manajemen
konflik yang memadai. Pendidikan multikultural merupakan kearifan dalam merespon
dan mengantisipasi dampak negatif globalisasi yang memaksakan homogenisasi dan
hegemoni pola dan gaya hidup. Ia juga jembatan yang menghubungkan dunia
multipolar dan multikultural yang mencoba direduksi isme dunia tunggal ke dalam
dua kutub saling berbenturan antara Barat-Timur dan Utara-Selatan.[21]
Pendidikan multikultural tersebut
mengusung pendekatan dialogis untuk menanamkan kesadaran hidup bersama dalam
keragaman dan perbedaan. Pendidikan ini dibangun atas spirit relasi kesetaraan
dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami dan menghargai persamaan,
perbedaan dan keunikan dan interdependensi. Ini merupakan inovasi dan reformasi
yang integral dan komprehensif dalam muatan pendidikan agama, agama yang bebas
prasangka, rasisme, bias an stereotip. Pendidikan multikultural memberi
pengakuan akan pluralitas, sarana belajar untuk perjumpaan lintas batas dan
mentransformasi indoktrinasi menuju dialog.[22]
Kini inovasi pendidikan
multikultural memperoleh momentumnya. Secara umum, pendidikan multikultural menegaskan
mengenai perlunya pembelajaran tentang berbagai hal untuk masyarakat yang
beragam. Para pemikir pendidikan multikultural memandang penting untuk
memperhatikan factor keragaman kelompok kultural dalam masyarakat yang perlu
dipelajari, ada pula yang memfokuskan pada tindakan sekolah, dan ada pula yang
fokus pada pandangan bahwa adanya antara teori dan praktik dalam pendidikan
multikultural.
Secara umum karakteristik
multikultural sendiri adalah sebagai berikut:[23]
a. Sikap terhadap batasan
1) Integritas, masing-masing jalan dihargai,
memungkinkan berbagai jalan dengan jalan lain.
2) Terbuka untuk dijelajahi.
3) Bisa berhimpit dan tumpang tindih.
4) Batasan relatif samar dan memelihara semua
batasan.
b. Sikap terhadap orang lain
1) Keragaman hal biasa
2) Sharing dan kerjasama.
3) Pro-eksistensi, kompromi, proporsional dan
rasional.
4) Post-kolonial.
5) Memahami dan menilai pandangan sendiri dan
menghargai pandangan orang lain.
6) Setara dalam perbedaan, saling mengisi dan
saling menyapa.
7) Multi integritas bermartabat.
Secara lebih luas dalam pendidikan
multikultural terdapat beberapa karakteristik yang kemudian diharapkan dapat
menyusun suatu definisi dan pedoman relatif untuk memaknai apa itu pendidikan
multikultural lebih mendalam.
Diantara karakteristiknya yaitu,
(1) belajar dalam perbedaan melalui pengembangan sikap toleran, empati dan
simpati, klarifikasi nilai-nilai kehidupan bersama, pendewasaan emosional,
kesetaraan dalam partisipasi sehingga diharapkan mampu menumbuhkan pola pikir
baru yang kemudian mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang ada, (2)
membangun sikap saling percaya. Rasa saling percaya adalah salah satu modal
terpenting dalam penguatan kultural masyarakat madani, (3) memelihara sikap
saling pengertian, (4) menjunjung sikap saling menghargai, (5) terbuka dalam
berpikir. (6) apresiasi dan interdependensi, (7) resolusi konflik dan
rekonsiliasi kekerasan.[24]
3. Urgensi
Pendidikan Multikultural
Sebagaimana
diketahui bahwa model pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan
agama dan pendidikan nasional. Pendidikan yang ada sekarang ini cenderung
menggunakan metode kajian yang bersifat dikotomis. Maksudnya, pendidikan agama
berbeda dengan pendidikan nasional. Pendidikan agama lebih menekankan pada
disiplin ilmu yang bersifat normatif, establish, dan jauh dari realitas
kehidupan. Sedangkan pendidikan nasional lebih cenderung pada akal atau
inteligensi. Oleh karena itu, sangat sulit menemukan sebuah konsep pendidikan
yang benar-benar komprehensif dan integral.
Salah
satu faktor munculnya permasalahan itu adalah adanya pandangan yang berbeda
tentang hakikat manusia. Kuatnya perbedaan pandangan terhadap manusia
menyebabkan timbulnya perbedaan yang makin tajam dalam dataran teoritis, dan
lebih tajam lagi pada taraf operasional. Fenomena tersebut, menjadi semakin
nyata ketika para pengelola lembaga pendidikan memiliki sikap fanatisme yang
sangat kuat, dan mereka beranggapan bahwa paradigmanya yang paling benar dan
pihak yang lain salah, sehingga harus diluruskan.
Manusia
dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Manusia sepanjang
hidupnya melaksanakan pendidikan. Bila pendidikan bertujuan membina manusia
yang utuh dalam semua segi kemanusiaannya, maka semua segi kehidupan manusia
harus bersinggungan dengan dimensi spiritual (teologis), moralitas, sosialitas,
emosionalitas, rasionalitas (intelektualitas), estetis dan fisik. Namun
realitanya, proses pendidikan kita masih banyak menekannkan pada segi kognitf
saja, apalagi hanya nilai-nilai ujian yang menjadi standar kelulusan, sehingga
peserta didik tidak berkembang menjadi manusia yang utuh. Akibat selanjutnya
akan terjadi beragam tindakan yang tidak baik seperti yang akhir-akhir ini
terjadi: tawuran, perang, penghilangan etnis, ketidakadilan, kesenjangan ekonomi,
korupsi, ketidakjujuran, dan sebagainya. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka
keberadaan pendidikan multikultural sebagai strategi pendidikan yang
diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran, dengan cara menggunakan
perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa sangat diperlukan, dengan
pertimbangan sebagai berikut:
1.
Pendidikan multikultural secara
inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah
suka gotong royong, membantu, menghargai antara suku dan lainnya.
2.
Pendidikan multikultural memberikan
secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi
akhir-akhir ini. Keberhasilan pendidikan dengan mengabaikan ideologi,
nilai-nilai, budaya, kepercayaan dan agama yang dianut masing-masing suku dan
etnis harus dibayar mahal dengan terjadinya berbagai gejolak dan pertentangan
antar etnik dan suku. Salah satu penyebab munculnya gejolak seperti ini, adalah
model pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada pendidikan
kognitif intelektual dan keahlian psikomotorik yang bersifat teknis semata.
Padahal kedua ranah pendidikan ini lebih mengarah kepada keahlian yang lepas
dari ideologi dan nilai-nilai yang ada dalam tradisi masyarakat, sehingga
terkesan monolitik berupa nilai-nilai ilmiah akademis dan teknis empiris.
Sementara menurut pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa
menjunjung tinggi nilai-nilai keyakinan, heterogenitas, pluralitas agama apapun
aspeknya dalam masyarakat.
3.
Pendidikan multikultural menentang
pendidikan yang berorientasi bisnis. Pendidikan yang diharapkan oleh bangsa
Indonesia sebenarnya bukanlah pendidikan ketrampilan semata, melainkan
pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan, yang sering disebut
kecerdasan ganda (multiple intelligence). Menurut Howard Gardner, kecerdasan
ganda yang perlu dikembangkan secara seimbang adalah kecerdasan verbal
linguistic, kecerdasan logika matematika, kecerdasan yang terkait dengan
spasialRuang, kecerdasan fisik kinestetik, kecerdasan dalam bidang musik,
kecerdasan yang terkait dengan lingkungan alam, kecerdasan interpersonal dan
kecerdasan intrapersonal. Jadi, jika ketrampilan saja yang dikembangkan maka
pendidikan itu jelas berorientasi bisnis.
4.
Pendidikan multikultural sebagai
resistensi fanatisme yang mengarah pada jenis kekerasan. Kekerasan muncul
ketika saluran perdamaian sudah tidak ada lagi.
Dengan
kata lain urgensi pendidikan multikultural merupakan gejala baru di dalam umat manusia yang mendambakan
persamaan hak, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang asama untuk semua
orang (Education for All).[25]
BAB III
KESIMPULAN
Multikulturalisme
adalah gagasan yang lahir dari fakta tentang perbedaan antar warga masyarakat
bersumber dri etnisitas, ideologi, agama, dan sosial budaya. Pengalaman hidup
yang nerbeda menumbuhkan kesadaran dan tata nilai yang berbeda kadang tampil
secara bertentangan. Multikulturalisme menyadarkan betapa pentingnya membangun konsensus
kesepahaman antar diri (self),
dan yang lain (otherness) dalm interaksi sosial dan berbangsa,
agar perbedaan yang ada tidak menjadi faktor pemisah atau pemecah belah (devinding
factor), tetapi justru dapat menjadi faktor perekat dan pemersatu (uniting
factor).
DAFTAR PUSTAKA
Choirul Mahfud, Pendidikan
Multikultural. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008.
M. Ainul Yaqin,
Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding Utuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta:
Pilar Media, 2005.
Muhammad Tang, Pendidikan Multikultural: Telaah Pemikiran dan
Implememntasinya dalam Pembelajaran PAI, Yogjakarta: Idea Press, 2009.
Ngainun Naim dan Ahmad
Syauqi, Pendidikan Multikultural Konsep Dan Aplikasi, Jogjakarta: Ar-Ruzz
media, 2008.
Puwasito Andrik,
Komunikasi Multikultural, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003.
Suhadi
Cholil, Resonansi Dialog Agama Dan Budaya Darikebebasan Beragama, Pendidikan
Multikultural, Sampai RUU Anti Pornografi, Yogyakarta: CRCS, 2008.
Tobroni, dkk,
Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Ham, Civil Society, dan
Multikulturalisme, Yogyakarta: Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat,
2007.
Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Islam Berwawasan
Multikultural, Jakarta: Erlangga, 2005.
[1] . Muhammad Tang, Pendidikan
Multikultural: Telaah Pemikiran dan Implememntasinya dalam Pembelajaran PAI,
(Yogjakarta: Idea Press, 2009), hlm. 1.
[2]. Ibid., hlm.2-4.
[3]. Tobroni, dkk, Pendidikan
Kewarganegaraan: Demokrasi, Ham, Civil Society, dan Multikulturalisme, (Yogyakarta:
Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat, 2007), hlm. 291.
[4] . M. Ainul Yaqin, Pendidikan
Multikultural, Cross-Cultural Understanding
Untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal.
27-28.
[6] . Abdullah, Multikulturalisme,
(Kompas 16 Maret 2006).
[7] . Choirul Mahfud, Pendidikan
Multikultural...hlm. 103
[8] . Ngainun Naim dan Ahmad Syauqi, Pendidikan Multikultural
Konsep Dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz media, 2008) hlm. 125.
[9] . Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural… hlm. 76.
[10] . Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Islam Berwawasan
Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 3.
[11] . Choirul Mahfud, Pendidikan
Multikultural... hlm. 248.
[12] . Tobroni, Pendidikan
Kewarganegaraan: Demokrasi, Ham, Civil Society, dan Multikulturalisme, hlm.
283.
[13] . Muhammad Tang, Pendidikan
Multikultural, hlm. 9.
[15]. Choirul mahfud, Pendidikan
Multikultural… hlm. 168.
[16] . Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Islam… hlm. 6.
[17] . Suhadi Cholil, Resonansi Dialog Agama Dan Budaya
Darikebebasan Beragama, Pendidikan Multikultural, Sampai RUU Anti Pornografi,
(Yogyakarta: CRCS, 2008), hlm. 4
[18] . Puwasito Andrik, Komunikasi
Multikultural, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003), hlm. 142.
[19] . Choirul mahfud, Pendidikan Multikultural… hlm. 183
[20] . Ibid. hlm. 184
[21] . Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Islam… hlm. 17.
[22] . Ibid., hlm. 74.
[23] . Ibid., hlm. 69-70.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar