Jumat, 28 Juni 2013

PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME DALAM PERSFEKTIF FILOSHOFIS
Makalah ini disusun Guna Memenuhi Mata Kuliah
Pendidikan Multikulturalisme dalam Islam
Dosen Pengampu: Dr. Mahmud Arif, M. Ag.



Oleh:
Ulin Nuha (1120410062)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCA SARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013


BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi pluralis dan multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari dinamika kehidupan masyarakat yang beragam, baik dalam aspek keagamaan, suku bangsa, bahasa maupun budaya. Keragaman yang ada, sesungguhnya dapat menjadi salah satu potensi besar bagi kemajuan bangsa. Namun di lain pihak, juga berpotensi menimbulkan berbagai macam permasalahan apabila tidak dikelola dan dibina dengan baik. Umat muslim sebagai pemeluk agama yang mayoritas, harus berperan aktif dalam mengelola dimensi keragaman bangsa ini. Pendidikan Islam sebagai salah satu instrumen penting peradaban umat, perlu dioptimalkan sebaik mungkin untuk menata dinamika keragaman agar dapat menjadi potensi kemajuan.
 Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Pendidikan Multikultural sebagai ide adalah suatu filsafat yang menekankan legitimasi, vitalitas dan pentingnya keragaman kelas social, entnis dan ras, gender, anak yang berkebutuhan khusus, agama, bahasa, dan usia dalam membentuk kehidupan individu, kelompok, dan bangsa. Sebagai sebuah ide, maka pendidikan multikultural ini harus mengenalkan pengetahuan tentang berbagai kelompok dan organisasi yang menentang penindasan dan eksploitasi dengan mempelajari hasil karya dan ide yang mendasari karyanya.
Implikasinya terhadap pengembangan Pendidikan Multikultural adalah pemasukan bahan ajar yang berisi ide dari berbagai kelompok budaya. Pendidikan memang mengajarkan nilai-nilai budayanya sendiri namun selain itu juga perpekstif dan budaya orang lain diwilayah orang lain diseluruh dunia. Hal ini dapat membuat siswa “melek budaya” (cultural literacy) yang mampu melihat berbagai sudut pandang budaya yang pernah hidup diberbagai belahan dunia.
Dalam filsafat multikulturalisme tidak dapat lepas dari dua filosof kontemporer yakni, John Rawls dari Harvard University dan Charles Taylor dari McGill University. Rawls adalah penganut liberalisme terutama dalam bidang etika dan Taylor dalam filsafat budaya dan politik.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakikat Pendidikan Multikultural
Dalam mengkaji hakikat multikultural memelalui pendekatan filosofis ada beberapa hal yang menjadi pokok bahasan, yaitu:
1.       Landasan Epistimologi Multikultural
Sudah menjadi sunnatullah bahwa manusia diciptakan dalam keberagaman, perbedaan dan kesederajatan. Melihat realitas kehidupan manusia banyak yang tidak menyadari akan esensi dirinya. Hal ini dapat dilihat sepanjang sejarah kehidupan manusia banyak terjadi konflik dan pertumpahan darah, mulai zaman Qabil dan Habil sampai zaman sekarang. Terjadinya konflik dan pertumpahan darah tersebut, karena antara manusia dengan manusia lainnya tidak menerima atau mengakui atas perbedaan,  kebaragaman, dan kesederajatan.[1]
Dalam dunia pragmatis, Indonesia sebagai sebuah negara yang multikultural telah menjadi sebuah realitas yang tidak terbantahkan. Multikulturalisme telah menjadi paradigma yang tidak saja mengandaikan hadirnya keanekaragaman elemen sosial budaya, tetapi juga proses peleburan antara elemen yang satu dengan elemen yang lainnnya ke dalam sebuah bejana sosial budaya yang berubah-ubah dan mencair. Disayangkan sekali keanekaragamaan yang ada dimasa orde baru dikelola dalam satu keseragaman yang represif, sehinggga multikulturalitas kebangsaan Indonesia menjelma menjadi suatu sosok yang mengerikan, ibarat bom yang bisa meledak sewaktu-waktu. Karena itu multukulturalisme bangsa Indonesia tidak dimengerti sebagai sesuatu yang given, takdir dari sang Pencipta, melainkan seolah sebagai sesuatau yang dibentuk oleh manusia.
          Dengan kata lain multikulturalitas kebangsaan terkooptasi logosentrisme tafsir hegemonik yang syarat dengan prasangka, kecurigaan, kebenciaan atau sebagai momok yang harus disingkirkan. Maka, realitas multikulturalitas kebangsaan tidak dilihat lagi sebagai suatu realitas yang memberikan energi positif, melainkan sebagai sumber ledakan destruktif yang menghancurkan pilar-pilar kemajemukan.  Multikulturalitas kebangsaan yang kita lihat saat ini belum sempurna menjadi suatu realitas kebangsaan yang membanggakan atau menjadi kebanggan dalam keberbangsaan. Perbedaan kebangsaan padahal harus dihayati, sehingga perbedaan itu dapat ditangkap dan kemudian dikelola untuk menghasilkan perekat-perekat dalam menyatudarakan anatara yang satu dengan yang lain. Jika tidak, perbedaan, keanekaragaman dalam kebersamaan tetap dirasakan asing bagi diri sendiri dan kelompok. Kemudian apabila gejala tersebut dibiarkan, menurut Thomas Konte bahwa paradigma multikulturalisme bangsa harus membuka diri untuk mendialogkan hal-hal yang dianggap dapat menimbulkan pertikaian dan perpecahan diantara anak bangsa.
Pemikiran Thoman Konte tersebut didasari atas fenomena pada masa orde baru, Suharto dengan watak kekuasaan yang begitu represif dan sangat terobsesi melakuakan oenyeragamaan sosial budaya melalui kampanye ideologis yang terstruktur diberbagai lembaga pemerintahan. Tragisnya, dunia pendidikan pun dijadikan ladang persemaian ideologi penyeragaman lewat desain-desain kurikulumnya. Maka peradaban bangsa ini pun tidak terkelola dengan baik dan berkembang semestinya. Perlu diingat, bahwa sejarah peradaban bangsa-bangsa besar adalah  sejarah mengelola multikulturalitas yang dimilikinya. Hancurnya negara Yugoslavia disebabkan oleh tidak terkelolanya multikulturalitas kebangsaannya. Indonesia di ambang kehancuran di era pascareformasi juga disebabkan oleh tidak terkelonya dengan baik multikulturalisme.[2]
Sebagai sebuah konsep, kemunculan multikulturalisme tidak terlepas dari pengaruh filsafat post-modernisme, yang berangkat  dari pemikiran tentang ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar dan penolakan terhadap segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi atau menjeneralisasi. Selain menolak pemikiran yang totaliter, filsafat post-modernisme juga menghaluskan sensitifitas manusia terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi terhadap realitas yang terukur. Post-modernisme menolak kebenaran tunggal atau yang bersifat absolut dan menghindari sikap klaim kebenaran (truth claim). Kebenaran diyakini bersifat jamak dan hakikat dari semua, termasuk kehidupan manusia itu dalam semua aspeknya adalah berbeda (all is difference).[3]
Filsafat post-modernisme yang muncul sebagai bentuk protes terhadap pemikiran filsafat modernisme, melahirkan beberapa bentuk pemikiran yang sangat mendasar, seperti realisme, relativisme, dan humanisme. Salah satu dampak positif yang menonjol dari pemikiran post-modernisme adalah lahirnya pengakuan akan pluralitas kehidupan. Bagi post-modernisme, kenyataan adanya masyarakat plural itu menjadi suatu fakta yang tidak bisa disangkal. Hal ini harus diperkuat dengan membangun prinsip kesadaran pluralisme dan multikulturalisme, yakni paham yang mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sekaligus memperlakukan orang lain secara sama secara proporsional.
Pengokohan multikulturalisme yang berangkat dari pemikiran filosofis di atas, perlu menjadi bahan pertimbangan untuk dikembangkan dalam pendidikan Islam. Landasan epistemologi yang telah dibangun dengan cukup jelas oleh aliran filsafat post-modernisme dalam usaha mengakomodasi fakta keragaman maupun perbedaan, sesungguhnya dapat menjadi tambahan referensi yang ilmiah untuk memformulasi pendidikan Islam multikultural secara lebih baik. Tentu dalam proses ini diperlukan sikap adaptif-kritis agar konsep-konsep tersebut tetap sejalan dengan spirit dan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu fokus dari Pasal 4 Undang-undang N0. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Bab III yang membahas prinsip penyelenggaraan pendidikan. Melalui pasal ini dijelaskan bahwa pelaksanaan pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), nilai keagamaan, nilai kultural (budaya) dan kemajemukan bangsa, sesuai dengan nilai-nilai dasar Negara, yakni Pancasila. Melalui dasar yuridis ini, maka pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia secara legal formal perlu memperhatikan aspek-aspek demokratis, keadilan, HAM, nilai-nilai atau norma (values) serta pengakuan terhadap aspek keragaman. Pengakuan terhadap segala bentuk keragaman tentu saja tidak cukup, karena itu diperlukan upaya untuk menyikap keragaman dengan perlakukan yang berlandaskan pada asas keadilan.
2.      Landasan Ontologi
            Untuk melihat multikultural secara ontologis, maka kita harus menelusuri dari akar kata multikultural itu sendiri. Akar kata multikultural terdiri atas multi artinya banyak, kultur artinya budaya, sedang isme pada kata multikultural bararti aliran/paham. Jadi, maksud dari multikultural adalah budaya yang beragam, sedangkan apabila telah mendapat akhiran isme  artinya telah menjadi suatu pemahaman atau aliran multikultural ( yang meyakini tentang adanya keberagaman).
            Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah  multiculturailsm merupan deviasi dari kata multicultural. Kamus ini menyetir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat Multicultural dan multilingual.
Kemudian penegertian kultur ada cukup banyak ilmuan yang memberikan definisi sebagaimana dalam M. Ainul Yaqin diantaranya: Julian Steward (1902-1972) dan Leslie White (1900-1975), menjelaskan bahwa kultur adalah sebuah cara bagi manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan dan membuat hidupnyatrejamin. Mary Douglas (1921) dan Cliffort Getts (1926-2006), berpendapat bahwa kultur adalah sebuah cara yang dipakai oleh semua anggota dalam sebuah kelompok masyarakat untuk memahami siapa diri mereka dan untuk memberi arti pada kehidupan mereka. Sedang Vincent Crapanzano (19390), berpendapat bahwa kultur tidak akan pernah dapat digambarkan dengan komplit dan jelas karena pengertian-pengertian tentang kultur pasti mereflesikan bias-bias dari para peneliti.[4]
Pengertian para ahli tersebut tidak untuk dipertentangkan, tetapi harus dicari titik temunya.  Sebagaimana yang diungkapkan Parsudi Suparlan dalam Choirul Mahfud bahwa pengertian kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan, setidak-tidaknya, tidak dipetentangkan antara satu konsep dengan konsep yang dipunyai oleh ahli lainnya. Karena multikulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya, maka konsep keb udayaan harus dilihat dalam persfektif fungsinya bagi kehidupan manusia.[5]
Lebih lanjut Parsudi Suparlan memaparkan bahwa dalam persfektif tersebut, kebudayaan adalah sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang harus diperhatikan bersama menyangkut kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan  itu bekerja melalui pranata-pranata sosial. Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap ke dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan, termasuk dalam kehidupan beragama.[6]
Jadi, dapat dipahami bahwa keanekaragaman budaya multikultural dalam masyarakat harus dipahami sebagai suatu keniscayaan yang tidak terbantahkan. Dalam keragaman kultur ini meniscayakan akan adanya pemahaman, saling pengertian, toleransi, dan sejenisnya agar tercipta suatu kehidupan yang damai dan sejahtera dan terhindar dari konflik berkepanjangan. Apabila telah tertanam dalam diri pemahaman seperti itu, maka menjadilah suatu ideologi yang disebut dengan multikulturalisme. Dari sinilah muncul pertanyaan apakah multikulturalisme itu? Dalam menjawab pertanyaan ini, kita akan melihat pendapat para ahli, diantaranya: Abdullah mengemukakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan pada budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain penekanan multikulturalisme adalah pada kesetaraan budaya.
Multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat.[7]  Kearifan itu akan muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat keadaan realitas yang plural sebagai satu kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara.
Ada beberapa titik kesamaan yang mempertemukan keragaman definisi yang ada tersebut. Salah satunya dapat dilakukan lewat pengidentifikasian karakteristiknya. Conrad P. Kottak (1989), menjelaskan bahwa kultur memiliki beberapa karakter khusus, antara lain:[8]
a. Kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus.
b. Kultur adalah sesuatu yang dipelajari.
c. Kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami.
d. Kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat.
Dari karakteristik ini, dapat dikembangkan pemahaman terhadap multikulturalisme, yaitu sebuah pemahaman tentang kultur yang beragam. Dalam keragaman kultur ini meniscayakan pemahaman, saling pengertian, toleransi dan sejenisnya, agar tercipta suatu kehidupan yang damai dan sejahtera serta terhindar dari konflik berkepanjangan.
Multikulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.[9]
Untuk memahami multikulturalisme, dibutuhkan alternatif pemaknaan tentang ideologi. Pandangan dua tokoh berikul ini yaitu Antonio Gramsci dan Michel Bahktin tampaknya penting untuk dilihat. Menurut mereka, ideologi lebih merupakan masalah partisipasi daripada dominasi atau manipulasi, dalam arti luas lebih merupakan persoalan pandangan dunia daripada propaganda partisan.[10]
Intinya, multikulturalisme meyakini bahwa ketika orang-orang hidup saling berdekatan, ada keharusan interaksi antara kebudayaan-kebudayaan. Tak seorang pun dapat hidup terisolasi sepenuhnya. Yang kita butuhkan untuk saling mengenal keragaman budaya nusantara dan mancanegara adalah pendidikan.
Dengan demikian multikulturalisme adalah sebuah konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengetahui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis maupun agama. Ia merupakan konsep yang memberikan pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural dan majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam (multikultural). Dan bangsa yang multikultural adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya (ethnic and cultural groups) yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co existensi yang ditandai oleh kesediaan masing-masing kelompok untuk menghormati dan menghargai budaya lain.[11]

B.     Hakikat atau Nilai Filosofis Pendidikan Multikultural
Untuk melihat hakikat atau nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam pendidikan multikultural, maka hal yang mendasar yang harus difahami adalah hakikat manusia, hakikat pendidikan dan hakikat multikultural. Hal ini penting, karena dengan memahami hakikat manusia yang terdiri dari dua unsur pokok yaitu: jasad/jasmani dan jiwa (roh, qalb, dan akal), maka pendidikan yang dibutuhkan oleh manusia adalah pendidikan yang dapat mengembangkan dan mengarahkan potensi-potensi manusia tersebut.
Kemudian, hal lain yang harus dipahami dalam mengkaji hakikat atau nilai-nilai filosofis pendidikan multikultural adalah; perlu melihat latar belakang atau hal yang mendasari munculnya pendidikan multikultural, konsep dan urgensinya. Berikut ini akan diuraikan secara komperhensif dalam bentuk sub pembahasan.
1.      Larat belakang Munculnya Pendidikan Multikultural
Istilah multikulturalisme pertama kali muncul di Amerika dan negara Eropa Barat sekitar tahun 1969-an.. Di negara ini kebudayaan didominasi oleh kaum imigran kulit putih dengan budaya WAPS, yaitu kebudayaan putih (white), dari bangsa yang berbahasa Inggris (Anglo Saxon) yang beraganma protestan. Nilai-nilai WAPS inilah yang menguasai mianstream kebudayaan di Amerika Serikat. Dengan demikian, terjadilah segresi dan diskriminasi bukan hanya dalam bidang ras tetapi juga dalam bidang agama, budaya dan gaya hidup.[12]
Dalam konteks di Indonesia, kenyataan yang tidak dapat ditolak bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia terdiri dari berbagai keragaman sosial, kelompok etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan lainnya, sehingga masyarakat dan babgsa Indoonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Pada pihak lain realitas multikultural tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali kebudayaan nasional Indonesia, atau budaya bangsa yang dapat menjadi integrating force  yang dapat mengikat seluruh keragaman etnis, suku bangsa dan budaya tersebut.[13]
Kemultikulturan masyarakat Indonesia paling tidak dapat dilihat dari dua cirinya yang unik, yaitu secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat, serta perbedaan kedaerahan, dan secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Kondisi tersebut tergambar dalam prinsip bhinneka tunggal ika, yang berarti meskipun Indonesia adalah berbeda-beda, tetapi terintegrasi dalam kesatuan. Namun demikian, pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan, khususnya pada masa demokrasi terpimpin Presiden Soekarno dan masa Orde Baru Presiden Soeharto memperlihatkan kecenderungan kuat pada politik monokulturalisme. Azyumardi Azra mengemukakan bahwa dalam politik ini, yang diberlakukan bukannya penghormatan terhadap keragaman (kebhinnekaan, atau multikulturalisme), tetapi sebaliknya adalah keseragaman (monokulturalisme) atas nama stabilitas untuk pembangunan. Berakhirnya sentralisasi Orde Baru yang memaksakan monokulturalisme, pada gilirannya telah memunculkan kesadaran akan pentingnya memahami kembali kebhinnekaan, multikulturalisme Indonesia. [14]
Di samping itu, wacana multikulturalisme Indonesia yang semakin mendapat tempat dalam masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa kondisi, yang Pertama, desentralisasi mendorong ditingkatkannya batas-batas identitas kebudayaan di Indonesia, baik identitas etnik, agama maupun golongan. Integrasi sosial dan nasional mendapat tantangan besar dari perubahan yang terjadi. Kedua, desentralisasi politik masa kini sangat kurang memperhatikan dimensi kebudayaan. Keputusan untuk melaksanakan desentralisasi lebih pada keputusan politik oleh para elit politik partai ketimbang mempertimbangkan dimensi kebudayaan yang sesungguhnya sangat mendasar dan penting. Ketiga, ketika batas-batas kebudayaan itu semakin nyata dan tajam, dan orientasi primordialisme mulai memicu konflik yang tajam antar etnik, agama, dan golongan, dan gejala ini dikuatirkan mengancam integrasi bangsa, para elit politik tergesa-gesa mencari obat penawarnya, mencari strategi untuk membangun kembali integrasi bangsa dan kebudayaan mulai diperhatikan.
Berkaitan dengan beberapa kondisi di atas, bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia”. Berbeda dengan masyarakat majemuk yang menunjukkan keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan suku bangsa, multikulturalisme dikembangkan dari konsep pluralisme budaya dengan menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat. Multikulturalisme ini mengusung semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence) dalam perbedaan kultur yang ada baik secara individual maupun secara kelompok dan masyarakat. Individu dalam hal ini dilihat sebagai refleksi dari kesatuan sosial dan budaya di mana mereka menjadi bagian darinya. Dengan demikian, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
2.      Konsep Pendidikan Multikultural
Pada dasarnya, pendidikan Multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan. Pembelajaran berbasis Multikultural di era globalisasi ini merupakan dasar pokok yang harus dimiliki oleh para pendidik, karena dalam pembelajaran ini pendidik harus merubah cara pandang mereka terhadap obyek pembelajaran (anak didik) tidak hanya dianggap sebagai individu tetapi harus ditempatkan sebagai warga lokal dan global.
Sebagai sebuah wacana baru, pengertian pendidikan multikultural sesungguhnya hingga saat ini belum begitu jelas dan masih banyak pakar pendidikan yang memperdebatkannya. Namun demikian, bukan berarti bahwa definisi pendidikan multikulturaltidak ada atau tidak jelas keberadaannya. Dalam menafsirkan pendidikan multikultural terdapat perbedaan antara satu pakar dengan pakar lainnya, semua itu tergantaung pendekatan yang digunakan oleh para pakar tersebut.
Meminjam pendapat andersen dan cusher (1994:320), bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian James Banks (1993:3), mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan/Sunatullah). Kemudian, bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.[15]
Ada dua istilah yang penting berdekatan secara makna dan merupakan suatu perkembangan yang berkesinambungan, yakni pendidikan multietnik dan pendidikan multikultural. Pendidikan multietnik sering digunakan di dunia pendidikan sebagai suatu usaha sistematik yang berjenjang dalam rangka menjembatani kelompok-kelompok rasial dan kelompok-kelompok etnik yang berbeda dan memiliki potensi untuk melahirkan ketegangan dan konflik. Sementara itu, pendidikan multikultural memperluas payung pendidikan multietnik sehingga memasukkan isu-isu lain seperti gender, hubungan antar agama, dll.[16]
Menurut HAR Tilaar pendidikan multikultural tidak bertujuan untuk menghilangkan perbedaan, akan tetapi menghilangkan prasangka, menimbulkan dialog, mengenal perbedaan sehingga timbul rasa saling menghargai dan mengapresiasi. Dari sini diharapkan akan muncul modal kultural bangsa, karena bangsa yang kehilangan modal kultural akan sangat rawan perpecahan.[17]
Tatanan kehidupan sosial masyarakat yang multikultural akan terwujud dalam prilaku yang saling menghormati, menghargai perbedaan keragaman kiebudayaan dalm kesederajatan dan menjaga satu dengan yang lainnya dalam prinsip-prinsip perbedan tersebut.[18]
Dalam hal ini perlu adanya pendekatan dalam pendidikan multikultural. Mendesain pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok, budaya, suku dan lain sebagainya, seperti Indonesia, mengandung tantangan dan rintangan yang tidak ringan. Perlu disadari bersama bahwa pendidikan multikultural tidak hanya sebatas merayakan keragaman. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya, atau perbedaannya dari budaya yang dominan akan berjalan dengan aman dan harmoni.[19]
Dalam bukunya, Choirul Mahfud menyebutkan lima pendekatan dalam proses pendidikan multikultural.[20] Pertama, tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu kebudayaan baru biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, maka dapat dilihat lebih jelas upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antithesis terhadap tujuan pendidikan multikultural.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik formal maupun non-formal) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi.
Pendidikan multikultural adalah suatu keniscayaan. Ia merupakan paradigm dan metode untuk menggali potensi keragaman etnik dan kultural nusantara, dan mewadahi dalam suatu manajemen konflik yang memadai. Pendidikan multikultural merupakan kearifan dalam merespon dan mengantisipasi dampak negatif globalisasi yang memaksakan homogenisasi dan hegemoni pola dan gaya hidup. Ia juga jembatan yang menghubungkan dunia multipolar dan multikultural yang mencoba direduksi isme dunia tunggal ke dalam dua kutub saling berbenturan antara Barat-Timur dan Utara-Selatan.[21]
Pendidikan multikultural tersebut mengusung pendekatan dialogis untuk menanamkan kesadaran hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan. Pendidikan ini dibangun atas spirit relasi kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami dan menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan dan interdependensi. Ini merupakan inovasi dan reformasi yang integral dan komprehensif dalam muatan pendidikan agama, agama yang bebas prasangka, rasisme, bias an stereotip. Pendidikan multikultural memberi pengakuan akan pluralitas, sarana belajar untuk perjumpaan lintas batas dan mentransformasi indoktrinasi menuju dialog.[22]
Kini inovasi pendidikan multikultural memperoleh momentumnya. Secara umum, pendidikan multikultural menegaskan mengenai perlunya pembelajaran tentang berbagai hal untuk masyarakat yang beragam. Para pemikir pendidikan multikultural memandang penting untuk memperhatikan factor keragaman kelompok kultural dalam masyarakat yang perlu dipelajari, ada pula yang memfokuskan pada tindakan sekolah, dan ada pula yang fokus pada pandangan bahwa adanya antara teori dan praktik dalam pendidikan multikultural.
Secara umum karakteristik multikultural sendiri adalah sebagai berikut:[23]
a. Sikap terhadap batasan
1) Integritas, masing-masing jalan dihargai, memungkinkan berbagai jalan dengan jalan lain.
2) Terbuka untuk dijelajahi.
3) Bisa berhimpit dan tumpang tindih.
4) Batasan relatif samar dan memelihara semua batasan.
b. Sikap terhadap orang lain
1) Keragaman hal biasa
2) Sharing dan kerjasama.
3) Pro-eksistensi, kompromi, proporsional dan rasional.
4) Post-kolonial.
5) Memahami dan menilai pandangan sendiri dan menghargai pandangan orang lain.
6) Setara dalam perbedaan, saling mengisi dan saling menyapa.
7) Multi integritas bermartabat.
Secara lebih luas dalam pendidikan multikultural terdapat beberapa karakteristik yang kemudian diharapkan dapat menyusun suatu definisi dan pedoman relatif untuk memaknai apa itu pendidikan multikultural lebih mendalam.
Diantara karakteristiknya yaitu, (1) belajar dalam perbedaan melalui pengembangan sikap toleran, empati dan simpati, klarifikasi nilai-nilai kehidupan bersama, pendewasaan emosional, kesetaraan dalam partisipasi sehingga diharapkan mampu menumbuhkan pola pikir baru yang kemudian mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang ada, (2) membangun sikap saling percaya. Rasa saling percaya adalah salah satu modal terpenting dalam penguatan kultural masyarakat madani, (3) memelihara sikap saling pengertian, (4) menjunjung sikap saling menghargai, (5) terbuka dalam berpikir. (6) apresiasi dan interdependensi, (7) resolusi konflik dan rekonsiliasi kekerasan.[24]
3.      Urgensi Pendidikan Multikultural
Sebagaimana diketahui bahwa model pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan agama dan pendidikan nasional. Pendidikan yang ada sekarang ini cenderung menggunakan metode kajian yang bersifat dikotomis. Maksudnya, pendidikan agama berbeda dengan pendidikan nasional. Pendidikan agama lebih menekankan pada disiplin ilmu yang bersifat normatif, establish, dan jauh dari realitas kehidupan. Sedangkan pendidikan nasional lebih cenderung pada akal atau inteligensi. Oleh karena itu, sangat sulit menemukan sebuah konsep pendidikan yang benar-benar komprehensif dan integral.
Salah satu faktor munculnya permasalahan itu adalah adanya pandangan yang berbeda tentang hakikat manusia. Kuatnya perbedaan pandangan terhadap manusia menyebabkan timbulnya perbedaan yang makin tajam dalam dataran teoritis, dan lebih tajam lagi pada taraf operasional. Fenomena tersebut, menjadi semakin nyata ketika para pengelola lembaga pendidikan memiliki sikap fanatisme yang sangat kuat, dan mereka beranggapan bahwa paradigmanya yang paling benar dan pihak yang lain salah, sehingga harus diluruskan.
Manusia dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Manusia sepanjang hidupnya melaksanakan pendidikan. Bila pendidikan bertujuan membina manusia yang utuh dalam semua segi kemanusiaannya, maka semua segi kehidupan manusia harus bersinggungan dengan dimensi spiritual (teologis), moralitas, sosialitas, emosionalitas, rasionalitas (intelektualitas), estetis dan fisik. Namun realitanya, proses pendidikan kita masih banyak menekannkan pada segi kognitf saja, apalagi hanya nilai-nilai ujian yang menjadi standar kelulusan, sehingga peserta didik tidak berkembang menjadi manusia yang utuh. Akibat selanjutnya akan terjadi beragam tindakan yang tidak baik seperti yang akhir-akhir ini terjadi: tawuran, perang, penghilangan etnis, ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, korupsi, ketidakjujuran, dan sebagainya. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka keberadaan pendidikan multikultural sebagai strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran, dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa sangat diperlukan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1.      Pendidikan multikultural secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah suka gotong royong, membantu, menghargai antara suku dan lainnya.
2.      Pendidikan multikultural memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Keberhasilan pendidikan dengan mengabaikan ideologi, nilai-nilai, budaya, kepercayaan dan agama yang dianut masing-masing suku dan etnis harus dibayar mahal dengan terjadinya berbagai gejolak dan pertentangan antar etnik dan suku. Salah satu penyebab munculnya gejolak seperti ini, adalah model pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada pendidikan kognitif intelektual dan keahlian psikomotorik yang bersifat teknis semata. Padahal kedua ranah pendidikan ini lebih mengarah kepada keahlian yang lepas dari ideologi dan nilai-nilai yang ada dalam tradisi masyarakat, sehingga terkesan monolitik berupa nilai-nilai ilmiah akademis dan teknis empiris. Sementara menurut pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai keyakinan, heterogenitas, pluralitas agama apapun aspeknya dalam masyarakat.
3.      Pendidikan multikultural menentang pendidikan yang berorientasi bisnis. Pendidikan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah pendidikan ketrampilan semata, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan, yang sering disebut kecerdasan ganda (multiple intelligence). Menurut Howard Gardner, kecerdasan ganda yang perlu dikembangkan secara seimbang adalah kecerdasan verbal linguistic, kecerdasan logika matematika, kecerdasan yang terkait dengan spasialRuang, kecerdasan fisik kinestetik, kecerdasan dalam bidang musik, kecerdasan yang terkait dengan lingkungan alam, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Jadi, jika ketrampilan saja yang dikembangkan maka pendidikan itu jelas berorientasi bisnis.
4.      Pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada jenis kekerasan. Kekerasan muncul ketika saluran perdamaian sudah tidak ada lagi.
Dengan kata lain urgensi pendidikan multikultural merupakan gejala baru  di dalam umat manusia yang mendambakan persamaan hak, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang asama untuk semua orang (Education for All).[25]

BAB III
KESIMPULAN
Multikulturalisme adalah gagasan yang lahir dari fakta tentang perbedaan antar warga masyarakat bersumber dri etnisitas, ideologi, agama, dan sosial budaya. Pengalaman hidup yang nerbeda menumbuhkan kesadaran dan tata nilai yang berbeda kadang tampil secara bertentangan. Multikulturalisme menyadarkan  betapa pentingnya membangun konsensus kesepahaman antar diri (self),  dan yang lain (otherness) dalm interaksi sosial dan berbangsa, agar perbedaan yang ada tidak menjadi faktor pemisah atau pemecah belah (devinding factor), tetapi justru dapat menjadi faktor perekat dan pemersatu (uniting factor).


DAFTAR PUSTAKA
Choirul Mahfud,  Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008.
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding  Utuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Muhammad Tang, Pendidikan Multikultural: Telaah Pemikiran dan Implememntasinya dalam Pembelajaran PAI, Yogjakarta: Idea Press, 2009.
Ngainun Naim dan Ahmad Syauqi, Pendidikan Multikultural Konsep Dan Aplikasi, Jogjakarta: Ar-Ruzz media, 2008.
Puwasito Andrik, Komunikasi Multikultural, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003.
Suhadi Cholil, Resonansi Dialog Agama Dan Budaya Darikebebasan Beragama, Pendidikan Multikultural, Sampai RUU Anti Pornografi, Yogyakarta: CRCS, 2008.
Tobroni, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Ham, Civil Society, dan Multikulturalisme, Yogyakarta: Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat, 2007.
Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural, Jakarta: Erlangga, 2005.







[1] . Muhammad Tang, Pendidikan Multikultural: Telaah Pemikiran dan Implememntasinya dalam Pembelajaran PAI, (Yogjakarta: Idea Press, 2009), hlm. 1.

[2]. Ibid., hlm.2-4.
[3]. Tobroni, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Ham, Civil Society, dan Multikulturalisme, (Yogyakarta: Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat, 2007), hlm. 291.
[4]M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding  Untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal. 27-28.
.               [5]. Choirul Mahfud,  Pendidikan Multikultural. (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008). hlm. 75-76 .
[6] . Abdullah, Multikulturalisme, (Kompas 16 Maret 2006).
[7] . Choirul Mahfud,  Pendidikan Multikultural...hlm. 103
[8] . Ngainun Naim dan Ahmad Syauqi, Pendidikan Multikultural Konsep Dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz media, 2008) hlm. 125.
[9] . Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural… hlm. 76.
[10] . Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 3.
[11] .  Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural... hlm. 248.

[12] . Tobroni, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Ham, Civil Society, dan Multikulturalisme, hlm. 283.
[13] . Muhammad Tang, Pendidikan Multikultural, hlm. 9.
[14] . Tobroni, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan...hlm, 286.
[15].  Choirul mahfud, Pendidikan Multikultural… hlm. 168.
[16] . Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Islam… hlm. 6.

[17] . Suhadi Cholil, Resonansi Dialog Agama Dan Budaya Darikebebasan Beragama, Pendidikan Multikultural, Sampai RUU Anti Pornografi, (Yogyakarta: CRCS, 2008), hlm. 4
[18] . Puwasito Andrik, Komunikasi Multikultural, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003), hlm. 142.
[19] . Choirul mahfud, Pendidikan Multikultural… hlm. 183
[20] . Ibid. hlm. 184

[21] . Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Islam… hlm. 17.
[22] . Ibid., hlm. 74.
[23] . Ibid., hlm. 69-70.

[24] . Ibid.,  hlm. 78-84.


[25] . Muhammad Tang, Pendidikan Multikultural, hlm.14-15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar