Senin, 19 Maret 2012

Empirisme


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Filsafat Yunani klasik merupakan permulaan dari pemikiran filsafat atau pembahasan filsafat secara spekulatif rasional dan irrasional dogmatis. Filsafat Yunani klasik merupakan contoh ilustrasi pemikiran dan pembahasan masalah filsafat secara sistematis dan lengkap dan berlaku sampai sekarang. Berbagai pemikiran tentang filsafat mengalami kemajuan pada masa Renaissance. Memasuki abad ke-17 beberapa filosuf mencapai penyempurnaan dan kedewasaan pemikiran. Pengaruhnya sangat besar bagi pemikiran-pemikiran filsafat pada masa berikutnya.
Oleh karena itu, pada masa ini yang dipandang sebagai sumber pengetahuan hanya apa yang secara alamiah dapat dipakai manusia yaitu akal atau rasio dan pengalaman atau empiris. Orang cenderung untuk memberikan tekanan kepada salah satu dari keduanya. Pada abad ini muncul dua aliran filsafat yang saling bertentangan yaitu rasionalisme dan empirisme.
Rasionalisme adalah sebuah aliran filsafat yang menekankan akal atau rasio sebagai sumber pengetahuan yang memiliki nilai kebenaran dan dapat diuji keilmiahannya. Maka pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat kebenaran ilmiah secara mutlak. Adapun pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang telah diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman karena akal dapat menurunkan kebenaran dari pada dirinya sendiri yaitu atas dasar asas-asas yang pasti. Metode yang diterapkan adalah deduktif dengan pendekatan ilmu pasti.
Segala sesuatu dapat dan harus dimengerti secara rasional. Suatu pernyataan hanya boleh diterima sebagai benar dan sebuah klaim hanya dapat dianggap sah apabila dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Wewenang tradirsional otoritas dan dogma merupakan pernyataan yang dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Rasionalisme merupakan semacam pemberontakan terhadap otoritas-otoritas tradisional yang bersifat dogmatis. Tidak cukup untuk mendasarkan sebuah tuntutan atas wewenang pihak yang menuntut, melainkan isi tuntutan itu sendiri harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Aliran filsafat ini secara hakiki bersifat anti tradisional.
Adapun aliran empirisme berpendapat bahwa empirik atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan baik pengalaman yang batiniyah maupun yang lahiriayah. Akal bukan menjadi sumber pengetahuan, akan tetapi akal mendapatkan tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan adalah induksi. Semula aliran ini seperti masih menganut semacam realisme yang naif yang menganggap bahwa pengenalan yang diperoleh melalui pengalaman tanpa penyelidikan lebih lanjut telah memiliki nilai yang obyektif. Akan tetapi kemudian nilai pengenalan yang diperoleh memalui pegalaman itu sendiri dijadikan sasaran atau obyek penelitaian.
Aliran ini muncul di Inggris pada awalnya dipelopori Francis Bacon (1531-1626). Pada perkebangannya dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca Descartes seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), dan yang terpenting adalah David Hume (1711-1776).

B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan beberapa pokok masalah sebagai berikut:
1.   Apa pengertian empirisme?
2.   Apa yang melatarbelakangi munculnya empirisme?
3.   Bagaimana tokoh-tokoh empirisme dan  kerangka pemikirannya?
4.   Bagaimana metode empirisme?
5.   Bagaimana pengaruh Leibniz dan Hume?
6.   Bagaimana implementasi empirisme filsafat?
7.   Bagaimana karakteristik empirisme?
8.   Apa saja kelebihan dan kekurangan empirisme?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Empirisme
Dalam ilmu pengetahuan yang paling berguna, pasti dan benar itu diperoleh orang melalui inderanya. Empirislah yang memegang peranan amat penting bagi pengetahuan, malahan barangkali satu-satunya dasar pendapat di atas itu disebut empirisme.
Empirisme merasa puas untuk menggarap hasil pekerjaannya dalam bidang materi hanya sebagai hipotesa yang dapat diubah menurut pengalaman di kemudian hari. Pada perkembangannya, empirispun diupayakan menjadi radikal dengan klaimnya harus tidak menerima dalam bentuknya unsur apa saja yang tidak dialami secara langsung atau mengeluarkan dari bentuknya unsur yang dialami secara langsung. Pengalaman-pengalaman dan fakta-fakta kehidupan sehari-hari merupakan dasar, realitas adalah hal yang dialami baik merupakan benda atau perubahan keadaan.
Secara etimologi, istilah empirisme berasal dari kata Yunani emperia yang berarti pengalaman[1]. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman indrawi. Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya[2].
Usaha manusia untuk mencari pengetahuan yang bersifat mutlak dan pasti telah berlangsung dengan penuh semangat dan terus-menerus. Walaupun begitu, paling tidak sejak zaman Aristoteles, terdapat tradisi epistimologi yang kuat untuk mendasarkan diri kepada pengalaman manusia, dan meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan yang mutlak tersebut. Doktrin empirisme merupakan contoh dari tradisi ini. Kaum empiris berdalil bahwa adalah tidak beralasan untuk mencari pengetahua mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila didekat kita, terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lamban namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang yang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak takkan pernah dapat dijamin.
            Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita mengatakan kapada dia bahwa ada seekor harimau di kamar mandinya, perta dia minta kita untuk menceritakan bagaimana kita sampai pada kesimpulan  itu. Jika kemudian kita terangkan bahwa kita melihat harimau itu dalam kamar mandi, baru kaum empiris akan mau mendengar laporan mengenai pengalaman kita itu, namun dia hanya akan menerima hal tersebut jika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri[3].  
            Dua aspek dari teori empiris terdapat dalam contoh di atas tadi. Pertama adalah perbedaan antara yang mengetahui dan yang diketahui. Yang mengetahui adalah subyek dan benda yang diketahui adalah obyek. Terdapat alam nyata yang terdiri dari fakta atau obyek yang dapat ditangkap oleh seorang. Kedua, kebenaran atau pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan kepada pengalaman manusia. Agar berarti bagi kaum empiris, maka pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu haruslah memenuhi persyaratan pengujian publik.    
B.  Latarbelakang Munculnya Aliran Empirisme          
Awal muasal timbulnya aliran ini bermula dari penolakan mereka atas dominasi logika Cartesian di daratan Eropa saat itu. Di samping itu, gelora Renaissance di daratan Eropa menginspirasi Dataran Britania Raya sampai ada istilah sendiri yaitu Enlightment. Beberapa tokoh yang cukup dikenal antara lain John Locke, David Hume, dan George Berkeley, Francis Bacon.
Bagi John Locke, berpikir deduksi relatif lebih rendah kedudukannya apabila dibandingkan dengan pengalaman indera dalam pengembangan pengetahuan. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa semua fenomena dari pikiran kita yang disebut ide berasal dari pengamatan atau refleksi. Inilah tesis dasar dari empirisme. Dengan tesis inilah, Locke mempergunakannya sebagai titik tolak dalam ia menjelaskan perkembangan pikiran manusia.
Selain John Locke, Bacon juga berkesimpulan bahwa penalaran hanya berupa putusan-putusan yang terdiri dari kata-kata yang menyatakan pengertian tertentu. Sehingga bilamana pengertian itu kurang jelas maka hanyalah dihasilkan suatu abstraksi yang tidak mungkin bagi kita untuk membangun pengetahuan di atasnya. Bacon beranggapan bahwa untuk mendapatkan kebenaran maka akal budi bertitik pangkal pada pengamatan inderawi yang khusus lalu berkembang kepada kesimpulan umum. Pemikiran Bacon yang demikian ini, kemudian melahirkan metode berpikir induksi. Dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan.  Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas.
Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, "aku" tidak lain hanyalah "a bundle or collection of perceptions (kesadaran tertentu)".
Kausalitas.  Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman.  Pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat.  Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari "probable" (berpeluang) sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita.  Hukum alam adalah hukum alam.  Jika kita bicara tentang "hukum alam" atau "sebab-akibat", sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja.
C.  Tokoh-Tokoh Empirisme dan Kerangka Pemikirannya
1.    Thomas Hobbes (1588-1679)
Thomas Hobbes adalah anak seorang pedeta, minatnya dari semula terarahkan kepada kesusastraan dan filsafat. Ia seorang filosuf Inggris, memahami manusia secara mekanik semata. Cita-citanya untuk mengembangkan suatu filsafat atau teori negara yang dapat membantu untuk menyusun masyarkat dalam keadaan damai dan adil.
Thomas Hobbes menggap bahwa pengalaman inderawi sebagai pemulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkus), yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama, dengan cara yang berlainan. Dunia dan manusia sebagai objek pengenalan merupakan sistem materi dan merupakan sebagai objek pengenalan merupakan sistem materi dan merupakan suatu proses yang berlangsung dengan tiada henti-hentinya atas dasar hukum-hukum mekanisme. Atas pandangan ini, ajaean Hobbes sistem materialistis pertama dalam sejarah filasafat modern.[4]
Materialisme yang dianut Thomas Hobbes mensinyalir bahwa segala sesuatu yang ada bersifat bendawi yakni segala kejadian adalah gerak yang berlangsung karena keharusan dan realitas tidak bergantung pada gagasan kita, terhisap di dalam gerak itu. Sebagai penganut empirisme, ia beranggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan.
Pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan di dalam ingatan dan dibagungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa yang lampau. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan kepada otak kemudian diteruskan ke jantung. Di dalam jantung timbullah suatu reaksi, suatu gerak yang berlawanan. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi. Sasaran yang diamati adalah sifat-sifat inderawi. Penginderaan disebabkan karena tekanan obyek atau sasaran kualitas dalam obyek-obyek yang sesuai dengan penginderaan kita bergerak menekan indera kita. Warna yang kita lihat, suara yang kita dengar bukan benda di dalam obyek melainkan di dalam subyeknya. Sifat-sifat inderawi tidak memberi gambaran tentang sebab yang menimbulkan penginderaan. Ingatan, rasa senang dan tidak senang dan segala gejala jiwani bersandar semata-mata pada aosiasi gambaran-gambaran yang murni bersifat mekanis.
2.    Jhon Locke (1632-1704)
John Locke[5] adalah filosof Inggris, lahir tahun 1632 di Wrington, Somersetshire. Tahun 1647-1652 ia belajar di Westminster. Tahun 1652 ia memasuki Universitas Oxford mempelajari agama Kristen, namun ia juga mempelajari pengetahuan di luar tugas pokoknya. Lock menyelidiki kemampuan pengetahuan manusia, sampai kemanakah ia dapat mencapai kebenaran dan bagaimanakah mencapainya itu. Ia mempergunakan istilah sensation dan reflection dalam upaya mencari kebenaran atas pengetahuan.
Reflection itu pengenalan intuitif serta memberi pengetahuan apakah kepada manusia lebih baik lebih penuh dari pada sensation. Sansation merupakan suatu yang memiliki hubungan dengan dunia luar tetapi tak dapat meraihnya dan tak dapat mengerti sesungguhnya. Tetapi tanpa sensations manusia tak dapat juga suatu pengetahuan
Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi dari kerja sama antara sensation dan reflections. Tetapi haruslah ia mulai dengan sensation sebab jiwa manusia itu waktu dilahirkan merupakan yang putih bersih; tabula rasa, tak ada bekal dari siapa pun yang merupakan ide innatae.
Seluruh pengetahuan kita peroleh dengan jalan menggunakan dan membandingkan gagasan-gagasan yang diperoleh dari pengindraan dan refleksi. Akal manusia hanya merupakan tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil penginderaan kita. Menurut Locke kita tidak melihat pohon atau orang atau mendengar bunyi sangkakala melainkan kita melihat kesan inderawi pada retina yang disebabkan oleh apa yang kita lihat sebagai pohon. Kita mendengarkan reaksi selaput kuping terhadap getaran-getaran udara yang disebabkan oleh peniupan sangkakala.
3.    George Berkeley (1685-1753)
George Berkeley[6] sebagai penganut empirisme mencanangkan teori yang dinamakan “immaterialisme” atas dasar prinsip-prinsip empirisme. Ia bertolak belakang dengan pendapat John Locke yang masih menerima substansi dari luar. Berkeley berpendapat sama sekali tidak ada substansi-substansi material dan yang ada hanya pengalaman ruh saja karena dalam dunia material sama dengan ide-ide.
Berkeley mengilustrasikan dengan gambar film yang ada dalam layar putih sebagai benda yang riil dan hidup. Pengakuannya bahwa “aku” merupakan suatu substansi rohani. Tuhan adalah asal-usul ide itu ada yang menunjukkan ide-ide pada kita dan Tuhanlah yang memutarkan film pada batin kita.
Sepintas kita pahami bahwa konsep pemikirannya ada kemiripan dengan paham fatalism dari Inggris, perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Tuhan. Juga hampir sama dengan paham Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatan.
4.    David Hume[7] (1711-1776)
Hume adalah seorang Skot, lahir didekat kota Edinburgh Inggris tahun 1711. Ia pernah mengajar di Universitas, barangkali juga karena ia dianggap ateis sehingga tidak akan diterima sebagian profesor. Ia banyak berkeliling di Eropa terutama di Perancis. Buku yang ia tulis ketika berumur duapuluh tahunan adalah Kretise Of Human Nature (1739), namun tidak banyak menarik perhatian orang. Waktu mudanya ia juga berpolitik tetapi tak terlalu mendapat sukses, kemudian ia beralih menjadi sejarawan. Pada tahun 1948 ia menulis buku yang sangat terkenal, An Enquiry Concerring the Princeiples of Morals (1751). Hume meninggal pada tahun 1776.
Ia menganalisis pengertian substansi, seluruh pengetahuan itu tak lain dari jumlah pengalaman kita. Dalam budi kita tak ada suatu idea yang tidak sesuai dengan impression yang disebabkan “hal” di luar kita. Adapun yang bersentuhan dengan indera kita itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal tersebut. Yang menyebabkan kita mempunyai pengertian sesuatu yang tetap substansi itu tidak lain dari perulangan pengalaman yang demikian acapkalinya. Subtansi itu hanya anggapan, khayal, yang sebenarnya tak ada.
Manusia tidak membawa pengtahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal yaitu kesan-kesan (impressions) dan pengertian-pengertian atau idea-idea (ideas).
Yang dimaksud dengan impressions atau kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah yang menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat seperti merasakan tangan terbakar. Adapun ideas adalah gambaran tentang pengamatan yang hidup, samar-samar yang dihasikan dengan merenungkan kembali atau ter-refleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.
Perbedaan kedua-keduanya terletak pada tingkat kekuatan dan garisnya menuju jiwa dan jalan masuk kesadaran. Persepsi yang termasuk denagn kekuatan besar dan kasar disebut impression (kesan) dan semua sensasim nafsu emosi termasuk kategori ini begitu mereka masuk kedalam jiwa. Idea adalah gambaran kabur (faint image) tentang persepsi yang masuk kedalam pemikiran.
Pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat. Hukum sebab akibat tidak lain hanya hubungan saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti api membuat air mendidih. Dalam api tidak bisa diamati adanya "daya aktif" yang mendidihkan air. Daya aktif yang disebut hukum kausalitas itu tidak bisa diamati. Dengan demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiwa-peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa-peristiwa terdahulu.
Pemikirannya tentang eksistensi Tuhan adalah ketika kita percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini kita berhadapan dengan dilema, kita berpikir tentang Tuhan menurut pengalaman masing-masing sedangkan itu hanya setumpuk persepsi dan koleksi emosi saja. Kemudian, bagaimana kita dapat mengatakan Tuhan itu Maha sempurna dan Maha Kuasa, sedangkan di alam terjadi kejahatan dan berbagai bencana. Seharusnya alam ini juga sempurna sesuai denga penciptanya tetapi ternyata tidak. Tuhan juga sumber kejahatan, terbatas dan memiliki sifat mencintai dan membenci. Penelitiannya tentang dunia tidak mampu membuktikan Tuhan kecuali Tuhan itu tidak sempurna.
Lebih lanjut Hume berkomentar, tidak ada bukti yang dapat dipahami untuk membuktikan bahwa Allah ada dan bahwa Ia menyelenggrakan dunia. Juga tidak ada bukti bahwa jiwa tidak dapat mati. Dalam praktik, orang-orang yang beragama selalu mengikuti kepercayaan yang dianggap pasti sedang akal tidak dapat membuktikannya. Menurutnya banyak sekali keyakinan agama yang merupakan hasil khayalan, tidak berlaku umum dan tidak berguna bagi hidup. Agama berasal dasri penghargaan dan ketakutan manusia terhadap tujuan hidupnya. Itulah yang menyebabkan manusia mengangkat berbagai dewa untuk disembah.
Mukjizat adalah ajaran agama yang juga diserang oleh David Hume. Dia memberikan lima alasan untuk menolak mukjizat, yaitu:
Sepanjang sejarah mukjizat tidak pernah diakui oleh sejumlah ilmuan dan kaum terpelajar.
Sebagian manusia memang memiliki kecenderungan untuk percaya kepada peristiwa-peristiwa yang luar biasa. Namun keyakinan ini tidak mendukung kebenaran mukjizat.
Kajian peradaban membuktikan bahwa mukjizat hanya cocok terutama bagi masyarakat terbelakang sedangkan bagi masyarakat yang telah maju justru menolaknya. Semakin kita percaya kepada ilmu semakin tidak mampu kita ditipu oleh takhayul (the more we believe in science the less we are likely to be deceived by superstition).
Semua agama wahyu memonopoli kebenaran mukjizat.
Data sejarah yang dapat dipecaya menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa di dunia ini jelas, seperti kita bisa mengetahui tanggal terbunuhnya Julius Caesar.
Apa relevansi filsafat yang amat ekstrem dan memang sudah sering dikritik itu? Bahwa kita tidak dapat mempunyai dan memang sudah pasti dan tidak dapat memahami apa-apa. Jadi, sebaiknya kita hidup bagi sesaat saja. Paham seperti Allah, tanggung jawab dan nilai adalah tanpa arti. Empirisme mempersiapkan nihilisme.

D.  Metode Empirisme
John Locke dan Bacon juga berkesimpulan bahwa penalaran hanya berupa putusan-putusan yang terdiri dari kata-kata yang menyatakan pengertian tertentu. Sehingga bilamana pengertian itu kurang jelas maka hanyalah dihasilkan suatu abstraksi yang tidak mungkin bagi kita untuk  membangun pengetahuan di atasnya. Bacon beranggapan bahwa untuk mendapatkan kebenaran maka akal budi bertitik pangkal pada pengamatan inderawi yang khusus lalu berkembang kepada kesimpulan umum. Pemikiran Bacon yang demikian ini, kemudian melahirkan metode berpikir  induksi.
E.  Pengaruh Leibniz dan Hume
Leibniz dan Hume adalah diantara banyak filsuf yang mempunyai pengaruh besar pada kant, terutama untuk membangunkan epistimologinya. Khusus kepada Hume, Kant merasa bahwa Humelah yang telah membangunkannya dari sikap dogmatisme. Setelah membaca karya-karya Hume, Kant kemudian tidak lagi menerima prinsip-prinsip rasionalisme dan aksioma-aksioma ontologi bahkan pemikiran (termasuk etika) nya yang dibangun dari kritik atau dogmatisme.     
Leibniz-Wolff dan Hume merupakan wakil dari dua aliran pemikiran filosofis yang kuat melanda Eropa pada masa Pencerahan. Leibniz tampil sebagi tokoh penting dari aliran rasionalisme, sedangkan Hume muncul sebagi wakil dari aliran empirisme.
Di sini jelas, bahwa epistimologi ‘ala Leibniz bertentangan dengan epistimologi Hume. Leibniz berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasionya saja, dan bukan pengalaman. Dari sumber sejati inilah bisa diturunkan kebenaran umum dan mutlak. Sedangkan Hume Mengajarkan bahwa pengalamanlah sumber pengetahuan itu. Pengetahuan rasional mengenai sesuatu, terjadi setelah sesuatu itu dialami terlebih dahulu[8].  


F.   Implementasi Empirisme Filsafat
Empirisme dalam Islam mempunyai peranan yang penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan seperti fuqoha’ ilmu fiqih yang berbasis empiris (ibadah muamalah), salat, zakat, puasa dan haji. Dalam bidang ilmu empirisme mempunyai kontribusi yang  besar dalam pengembangan berfikir induktif.
Selain itu sumbangan utama dari aliran empirisme adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah untuk membangun pengetahuan. Selain itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan apakah ilmu pengtahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam. Sejak saat itu, empirisme menempati tempat yang terhormat dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial. Acapkali empirisme diparalelkan dengan tradisi positivism. Namun demikian keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang berbeda.
G. Karakteristik Empirisme
1.    Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
2.    Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
3.    Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
4.    Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
5.    Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk  mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
6.    Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunyasumber pengetahuan.
H.  Kelebihan dan Kekurangan Empirisme
Kelebihan empirime adalah pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang benar, karena faham empiris mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
Sedangkan kelemahan empirisme cukup banyak diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Indra terbatas. Benda yang jauh kelihatan kecil. Apakah benda itu kecil benda itu kecil? Tidak. Keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan objek salah.
2.    Indera menipu. Pada orang yang sakit malaria, gulara rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
3.    Objek yang menipu. Contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia tangkap oleh alat indera; ia membihongi indera. Ini jleas dapat menimbulkan inderawi yang salah.
4.    Indera dan objek sekaligus. Dalam hal ini indera (di sini mata) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan. Jika melihatnya dari depan, yang kelihatan adalah kepala kerbau, dan kerbau pada saat itu memang tidak mampu sekaligus memperlihatkan ekornya. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.       


BAB III
KESIMPULAN
A.  Kesimpulan
Kata empirisme berasal dari kata Yunani empirikos yang berasal dari empeiria, artinya pengelaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman indrawi. Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya.Tokoh-tokoh aliran empirisme dalah Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), dan David Hume (1711-1776).
John Loke, disebut sebagai bapak aliran empirisme pada zaman modern mengemukakan teori Tabula Rasa (blank tablet, kertas catatan kosong). Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar. Karena itu metode penelitian yang menjadi tumpuan aliran ini adalah metode ekperimen.
Kelebihan empirime adalah pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang benar, karena faham empiris mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Sedangkan kelemahan empirisme cukup banyak diantaranya adalah sebagai berikut: Indra terbatas, indera menipu, indera dan objek sekaligus. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.        



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Cet. XVI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008
Beerling, Kwee, Mooij Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003
Jerom R. Ravertz, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Filsafat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006
Louis O. Kattsoft, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2004
Nurhakim, Empirisme, http://paisnews.blogspot.com, di akses tanggal 1 November 2011
Rizal Mustansyir, Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Cet. IX; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009


[1] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma Dan kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal. 53
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 24
[3] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 102
[4] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma Dan kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal. 54
[5] Ibid,,,
[6]  Ibid,,,
[7] Nurhakim, Empirisme, http://paisnews.blogspot.com, di akses tanggal 1 November 2011
[8] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma Dan kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal. 57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar