Minggu, 11 Maret 2012

Ilmu Mukhtalif Hadits


BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu bagian dan komponen ilmu ma’ânil Hadis adalah teori mémahami hadis hadis yang mukhtalif (kontradiktif). ini terkait dengan problem bagaimana rnemahami matan hadis (redaksi hadis). Sebab kadang-kadang terdapat hadis-hadis yang tampak saling bertentangan, padahal jika diteliti secara cermat, hadis-hadis tersebut, memiliki konteksnya sendiri-sendiri dan masih bisa dikompromikan sehingga kedua-duanya bisa diamalkan.
Harus diakui bahwa situasi dan kondisi masa dulu yang berbéda, kadang menyebabkan sebagian hadis-hadis Nabi Saw. terasa tidak kominikatif dengan kehidupan sosial sekarang yang telah berubah dan berkembang. Maka dalam memahami hadis diperlukan kehati-hatian, tidak boleh gegabah atau terburu-buru menolak suatu hadis yang shahih secara sanad, hanya karena kita melihat bahwa hadis tersebut musykil (janggal atau sulit dipahami). Demikian halnya dengan hadis-hadis yang tampak bertentangan. Boleh jadi kesan adanya pertentangan dalam redaksi hadis-hadis, disebabkan karena kita hanya memahami secara harafiah (tekstual), belum mempertimbangkan secara mendalam, bagaimana kualitas sanad dari masing-masing hadis, bagaimana strukturkalimat, situasi dan konteks hadis tersebut disampaikan dan sebagainya. Bagian tulisan ini mencoba menjelaskan definisi dan teori memahami ilmu mukhtalif al-hadits..











                                                   BAB II
          PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Mukhtalif Hadis
Kata mukhtalif merupakan bentuk isim fa’il (kata sifat) dari kata ikhtalafa-yakhtalifu-ikhtilâf, berarti berselisih dan bertentangan. Sedangkan secara terminologi Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib mendefiniskan Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs wa Musyakilihi sebagai:                                                                                                                                                                                                  
 الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
 Artinya: Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu, atau mengompromikannya, di samping membahas hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya. [1]
Secara garis besar, ilmu ini mencakup seluruh hadis yang secara lahir bertentangan. Yaitu dengan cara jam’u (mengompromikan dua hadis atau lebih tersebut) dan tangaufiq (mencocokkan) dengan cara taqyid (membatasi teks yang mutlak), takhsis (menentukan cakupan teks yang umum), atau dengan memposisikan hadis sesuai dengan asbabul wurudnya, atau lainnya. Sebagaimana metode ini kadang-kadang juga diaplikasikan pada hadis yang sulit dipahami dengan mentakwil atau menjelaskannya,  meskipun tidak ada hadis lain yang menentangnya.  Ilmu ini disebut juga musykil al-hadits, ilmu ikhtilaf al-hadits, ilmu ta’wil al-hadits atau ilmu talfiq al-hadits.
Dari sini dapat dipahami, bahwa ilmu mukhtaliful hadis dan musykil al-hadits adalah sejenis ilmu yang memperbincangkan tentang bagaimana memahami hadis yang secara lahir bertentangan dengan menghilangkan pertentangan itu dan mencocokkannya. Seperti halnya pembicaraan tentang hadis yang sulit dipahami dan digambarkan. Dan hal ini akan mengungkap kesulitan itu dan menjelaskan substansinya.[2]
Definisi lain yang membedakan keduanya adalah bahwa mukhtalif itu dimaksudkan pada hadis yang bertentangan dengan hadis lainnya. Ada yang membaca mukhtalaf, dan maksudnya adalah pertentangan antara dua hadis tersebut. Sedang terminologi musykil artinya hadis yang sulit dipahami disebabkan beberapa faktor. Di antaranya makna yang tidak mudah ditangkap, bertentangan dengan ayat-ayat Quran, hadis lain, ijmak, qiyas, maupun akal inderawi. Secara mudah perbedaan dua term itu terletak pada beberapa hal. Pertama, dua istilah yang beda tekstualnya. Kedua, obyek term. Jika mukhtalif untuk dua hadis saja, maka musykil bisa dua atau lebih. Ketiga, orientasi mukhtalif adalah dua hadis sebagai dalil. Sedang musykil dua dalil secara umum. Bisa memasukkan qiyas dan rasional.[3]
Adapun kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu Mukhtalif al-HadIts antara lain:
1.      Ikhtilãf al-Hadits karya Imam Muhammad ibn Idris al-Syâfi’i (150-204 H).
2.      Ta’wil Mukhtalif al-hadits karya Abdullah Ibnu Muslim Ibnu Qutaibah al-Dainuri (213-276 H).
3.      Musykil al-Atsar karya Imarn Abü ja’far Ahmad ibn Muhammad al-Thahâwi (239-321 H)
4. Musykil al-Hadits wa Bayânuh, karya Abu Bakar Muhammad Ibn Hasan al-Anshâri (w. 406) dan sebagainya.

Ilmu Mukhtalif al-Hadits ini jika dilihat dari perspektif filsafat ilmu, memiliki objek formal yaitu khusus meneliti hadis-hadis yang tampak bertentangan (al-ahadits al-mukhtalifah) dengan tujuan mencari solusi agar hadis tersebut bisa dipahami secara tepat, sesuai dengan konteksnya masing-masing, sehingga kesan kontradiksi tersebut bisa dihilangkan. Oleh karena itu perlu adanya penjelasan hadits –hadits mukhtalif tersebut.

B. Penyebab Hadis Mukhtalif
Paling tidak ada empat faktor yang menyebabkan hadis-hadis tampak saling bertentangan, yaitu:
1.      Faktor internal hadis (al-âmil al-dâkhili), yakni menyangkut internal redaksi teks hadis yang memang terkesan bertentangan.
2.      Faktor eksternal (al-’âmil al-khâriji), yakni faktor yang disebabkan oleh konteks waktu dan tempat (geografis) di mana Nabi Saw menyampaikan hadis dan kepada siapa beliau berbicara.
3.      Faktor metodologi (al-bu’du al-manhaji),yakni berkaitan dengan proses dan cara seseorang memahami hadis tersebut.
4.      Faktor ideologi (al-bu’du al-madzhabi), yakni berkaitan dengan ideologi atau madzhab seseorang ketika memahami suatu hadis.[4]

C. Metode Menyelesaikan Hadis-hadis Mukhtalif
1. Metode al-Jam’u wa al-Taufiq
Metode ini dilakukan dengan cara menggabungkan dan mengompromikan dua hadis yang tampak bertentangan, dengan catatan bahwa dua hadis tersebut sama-sama berkualitas shahih. Metode ini dinilai lebih baik katimbang melakukan tarjih. Metode al-jam’u wa al-taufiq ini tidak berlaku bagi hadis-hadis dla’if (lemah) yang bertentangan dengan hadis-hadis yang shahih.
Contoh aplikasi dan metode al-jam’u wa taufiq adalah hadis tentang siksa mayit karena ditangisi keluarganya. Riwayat versi Umar bin Khaththab menyatakan: “Sesungguhnya mayat itu akan disiksa karena ditangisi oleh keluarganya”. Sedangkan riwayat Aisyah menyatakan bahwa “Sesungguhnya Allah akan menambah siksa mayat orang kafir, karena ía ditangisi keluarganya”.[5]
Secara tekstual, hadis tersebut dinilai mukhtalif dan juga musykil, sebab seolah si mayit terkena akibat dosa dari keluarga yang masih hidup. Hal ini dinilai bertentangan dengan ayat al-Qur’an surat al-An’âm ayat 164 yang artinya “seseorang tidak akan menanggung beban kesalahan orang lain”.
      Oleh karena kedua hadits shahih tersebut kontroversial, maka para ulama kemudian memahaminya dengan melakukan pendekatan metode al-jam’u wa taufiq, yaitu menggabungkan pengertian kedua versi tersebut untuk memperoleh makna. Sehingga maksud dari kedua hadits tersebut  yaitu bahwa mayat yang kafir akan ditambahi siksanya apabila ia ditangisi keluarganya, dan mayat yang muslim akan disiksa apabila sebelum mati orang tersebut berpesan agar ditangisi keluarganya. Sementara maksud  surat al-An’âm ayat 164 adalah berkaitan dengan hukum di dunia. Jadi di dunia manusia tidak akan menanggung kesalahan orang lain.[6]

2. Metode Tarjih
Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana di antara hadis hadis yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadis yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.
Pada dasarnya, banyak di temukan beberapa matan hadis yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan al-Qur’an. Antara lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud:
الْوَائِدَةُ وَالْمَوْؤُودَةُ فِي النَّارِ
perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka. (H.R. Abi Dawud).
Hadis tersebut musykil (janggal) dari sisi matan dan mukhtalif (bertentangan) dengan al-Qur’an Surat al-Takwir ayat 8-9.
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh”. (Q.S. al-TakwIr [81]: 8-9)
Oleh karena itu, hadis tersebut harus ditolak, meskipun sanadnya hasan. Lagi pula hadis tersebut, juga bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang artinya:
Nabi Saw pernah ditanya oleh paman Khansâ’, anak perempuan Mu’awiyyah al-Sharimiyyah. Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab: Nabi Saw akan masuk surga, orang yang mati syahid juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk di surga. (HR. Ahmad).
3. Metode Nâsikh Mansukh
Apabila ternyata hadis tersebut tidak mungkin ditarjih, maka para ulama menempuh metode naskh mansukh (pembatalan). Yaitu dicari mana hadis yang lebih datang dulu dan mana hadis yang datang belakangan. Sehingga hadits yang datang lebih àwal dinaskh dengan yang datang belakangan.
Secara bahasa, naskh bisa berarti menghilangkan (al-izdlah), bisa pula berarti al-naqli (memindahkan). Sedangkan secara istilah, naskh berarti penghapusan yang dilakukan oleh syari’ (pembuat syariat; yakni Allah dan Rasulullah) terhadap ketentuan hukum syari’at yang datang lebih dulu dengan dalil syar’i yang datang belakangan. Dengan definisi tersebut, berarti bahwa hadis-hadis yang sifatnya hanya sebagai penjelasan (bayan) dan hadis yang bersifat global atau hadis-hadis yang memberikan ketentuan khusus (takhsish) dan hal- hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan sebagai hadis nâskh (yang menghapus). Namun perlu diingat bahwa proses naksh dalam hadis hanya terjadi di saat Nabi Muhammad Saw masih hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum syara’, sesungguhnya hanyalah syari, yakni Allah dan Rasulullah. Naskh hanya terjadi ketika pembentukan syaria’at sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan hukum yang tetap (ba’da istiqrâr al hukrn). Salah satu contoh dua hadis yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan metode nashih- mansukh adalah hadis tentang hukum makan daging kuda:
أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ
Dua hadits diatas terlihat saling bertentangan, hadits pertama berisi tentang larangan makan daging kuda dan sekaligus menjadikannya haram. Hadits kedua menunjukkan kebolehan memakan daging kuda. Pertentangan ini tidak boleh tidak harus dihapus dengan metode nasikh. Hukum keharaman memakan daging kuda pada hadits pertama telah dinasikhkan oleh hukum kebolehan makan daging pada hadits kedua dari Jabir bin Abdullah yang datang setelahnya.

4. Metode Tawaqquf
Jika metode nasikh-mansukh ini pun tidak mungkin, maka dipilih metode tawaqquf (menghentikan atau mendiamkan). Yakni, tidak mengamalkan hadits tersebut sampai ditemukan adanya keterangan, hadis manakah yang bisa diamalkan. Namun sikap tawaquf sebenarnya tidak menyelesaikan masalah, melainkan membiarkan atau mendiamkan masalah tersebut tanpa solusi. Padahal sangat mungkin hadis-hadis yang bermasalah dan terkesan kontradiksi bisa diselesaikan. Oleh sebab itu, teori tawaqquf harus dipahami sebagai sementara waktu saja. Sehingga  jika ditemukan pemaknaan yang rasional mengenai suatu hadis dengan ditemukan suatu teori dari ilmu pengetahuan atau sains, maka tawaqquf ini tidak berlaku lagi.

5.      Metode Ta’wil
Metode ini lebih menekankan pada aspek etimologis-metodologis dalam mengkaji teks-teks hadits untuk menghasilkan pembacaan yang lebih produktif. Metode ini bisa menjadi salah satu alternatif baru dalam menyelesaikan hadis-hadis yang tampak bertentangan. Sebagai contoh hadis tentang lalat. Hadis tersebut dinilai kontradiktif dengan akal dan teori kesehatan. Sebab lalat merupakan serangga yang sangat berbahaya dan bias menyebarkan penyakit. Padahal Nabi Saw, menyuruh supaya menenggelamkan lalat yang hinggap di minuman,[7] sebagaimana dalam hadits:
حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُتْبَةُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ بْنُ حُنَيْنٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
 Artinya: Khalid ibn Makhlad bercerita kepada kami, Sulaimân ibn Bilâl bércerita kepada kami, dia berkata: Uthbah ibn Muslim telah bercerita kepadaku, dia berkata, Ubaidah ibn Hunain berkata; Saya mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Apabila ada lalat jatuh dalam minuman salah seorang kalian, maka hendaklah ia membenarnkannya sekalian, lalu buanglah lalat tersebut. Sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit, sedang pada sayap yang lain terdapat penawar (obat). (H.R. al-Bukhâni).

Selintas hadis tersebut memang tidak masuk akal dan kontradiksi dengan teori kesehatan. Namun temyata penelitian dan sejumlah peneliti Muslim di Mesir dan Saudi Arabia terhadap masalah ini justru membuktikan lain. Melalui pengamatan mikroskop diperoleh hasil bahwa minuman yang dihinggapi lalat dan tidak dibenamkan ke dalamnya, dipenuhi dengan banyak kuman dan mikroba. Sementara minuman yang dihinggapi lalat, lalu dibenamkan ke dalmnya, justru tidak dijumpai sedikit pun kuman dan mikroba. Itu adalah sebuah penelitian ilmiah dan semakin membutikan kebenaran hadis tersebut secara ilmiah dan seksligus merupakan salah satu mukjizat Islam yang abadi dalam lapangan ilmu.[8]

BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil, yaitu:
1. Ilmu mukhtalif al-hadits adalah hadis-hadis yang tampak saling bertentangan satu sama lain. Termasuk dalam pengertian hadis mukhtalif adalah hadis-hadis yang sulit dipahami karena ada kata-kata janggal atau sulit dipahami (musykil). Akan tetapi, hendaknya kita tidak terburu buru menolak suatu hadis yang dinilai kontradiktif, sebelum benar-benar melakukan verifikasi secara mendalam. Hal ini karena hadis-hadis tersebut boleh jadi tidak benar-benar kontradiktif, sehingga masih bisa diberikan solusi.
2. Paling tidak ada lima metode yang bisa dipakai untuk menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif, yaitu: 1) aljam’u wa al-taufiq, 2) al-tarjih ,3) nâskh-mansukh, 4) at-tawaquf dan 5) ta’wil.











DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib.  Muhamad Ajjaj, Usulul Hadis,  Dar al-Fikr: Baerut Lebanon, 1989.
Al-Khathib. Muhammad ‘Ajaj , Ushul Al Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya  Media Pratama, 2007. 
Al-Uwaisyiz. Ali bin Abdirrahman, Mukaddimah Fi Mukhtalifil Hadis, Maktabah: Syamilah versi 342, tt.
Al-Qushaymi,. Abdullah Bin Ali An Najdy,  Memahami Hadits-Hadits Musykil, Solo: Pustaka Mantiq, 1993.Mustaqim. Abdul,  Ilmu Ma’ânil Hadîts ,Yogyakarta : Idea Press, 2008.
            Mustafa Yaqub. Ali, Kritik Hadits , Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000.
        













                [1] Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits (Jakarta: Gaya  Media Pratama,2007), 254.

[2]  Muhamad Ajjaj Al-Khatib, Usulul Hadis ( Dar al-Fikr: Baerut Lebanon, 1989), hlm. 283.
[3]  Ali bin Abdirrahman, Al-Uwaisyiz  Mukaddimah Fi Mukhtalifil Hadis (Maktabah: Syamilah versi 342, tt). hlm. 03.

[4]  Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 87.

[5]  Abdullah Bin Ali An Najdy Al-Qushaymi, Memahami Hadits-Hadits Musykil, ( Solo: Pustaka Mantiq, 1993), hlm. 197.
[6] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits (jakarta : Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 93
[7]  Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts.......hlm  100-101.

                [8]  Abdullah Bin Ali, Memahami Hadits-Hadits Musykil.......hlm. 81-89.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar