Minggu, 11 Maret 2012

Qira'ah


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan salah satu sumber hukum Islam yang keorisinalitasnya dapat dipertanggung jawabkan, karena merupakan wahyu Allah baik dari segi lafadz maupun makna. Selain itu seluruh ayat dalam Al-Qur’an dinukilkan atau diriwayatkan secara mutawattir baik hafalan maupun tulisan. Al-Qur’an tidak terlepas dari aspek qira’at, karena pengertian Al-Qur’an itu sendiri secara lughat (bahasa) berarti ‘bacaan’ atau ‘yang dibaca’. Qira’at Al-Qur’an disampaikan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat. Kemudian sahabat meneruskan kepada para tabi’in.
Demikian dari generasi ke generasi. Namun dalam perjalanan sejarahnya, qira’at pernah diragukan keberadaan dan diduga tidak bersumber dari Nabi SAW. Sehubungan dengan hal tersebut, maka para ulama ahli qira’at terdorong untuk meneliti dan menyeleksi berbagai versi qira’at yang berkembang pada masa itu. Berbagai versi qira’at tersebut ada yang berkaitan dengan lafadz dan dialek kebahasaan. Perbedaan yang berkaitan dengan lafadz bisa menimbulkan perbedaan makna sedangkan dialek tidak. Ada juga versi qira’at yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum yang berbeda dengan versi qira’at sebagaimana terbaca dalam mushaf kaum muslimin sekarang. Perbedaan ini dapat menimbulkan istinbath hukum yang berbeda pula.
Oleh karena itu diperlukan pemahaman dan pengetahuan mengenai ilmu qira’at agar kita dapat mengetahui pengertian dan latar belakang perbedaan qira’at serta pengaruhnya terhadap istinbath hukum dalam Al-Qur’an.




PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qira’at Al-Qur’an
Qira’at adalah jamak dari qira’ah, yang berarti bacaan sedangkan menurut bahasa merupakan isim mashdar dari lafal qara’a (fi’il madhi) yang berarti membaca. Maka qira’at berarti bacaan atau cara mebaca. Sedangkan menurut istilah qira’at adalah salah satu madzhab (aliran) pengucapan Al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya[1].
Bila dirujuk bedasarkan pengertian terminology (istilah), ada beberapa definisi qira’at menurut para ulama, diantaranya:
1.      Menurut Az-Zarqani
Az-Zarqani mendefinisikan qira’ah dalam terjemahan bukunya yaitu: madzhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya.[2]
2.      Menurut Ibn Al-Jazari
Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.[3]
3.      Menurut Al-Qasthalani
Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.[4]
4.      Menurut Az-Zarkasyi
Qira’at adalah pebedaan cara mengucapkan lafadz-lafadz Al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.
5.      Mneurut Al-Jazari
Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakannya kepada penukilnya.
Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Nabi Muhammad. Dengan demikian dari penjelasan-penjelasan di atas, maka ada tiga pengertian qira’at yang dapat ditangkap dari definisi di atas, yaitu:
1.      Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2.      Cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
3.      Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl dan washl.
B.     Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
Qira’at sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu: Suatu ketika Umar bin Khattab berbeda dalam membaca ayat Al-Qur’an. Kemudian peristiwa perbedaan ini mereka laporkan kepada Rasulullah SAW. Maka beliau menjawab dengan sabdanya, yang artinya: “Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”.[5]
Pada zaman Nabi SAW, sahabat dan umat Beliau waktu itu memperoleh ayat Al-Qur’an dengan cara mendengarkan, membaca dan menghafalkannya secara lisan dari mulut ke mulut. Barulah pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Al-Qur’an mulai dibukukan dalam satu mushaf atas saran dari Umar bin Khattab r.a. Kemudian Abu Bakar Ash-Shiddiq memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan seluruh ayat Al-Qur’an dan ditulis dalam satu mushaf. Pembukuan Al-Qur’an ini berlangsung sampai Khalifah Utsman bin Affan.
Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan r.a. terdapat perselisihan sesama kaum muslimin mengenai bacaan Al-Qur’an yang hampir menimbulkan perang saudara sesama muslim. Perselisihan ini disebabkan mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat-ayat Al-Qur’an karena oleh Nabi diajarkan cara bacaan yang sesuai dengan dialek mereka masing-masing. Namun mereka tidak memahami maksud Nabi melakukan hal tersebut sehingga tiap suku/golongan menganggap bacaan mereka yang paling benar sedangkan yang lain salah. Untuk mengatasi perselisihan, Khalifah Utsman bin Affan r.a. memerintahkan untuk menyalin mushaf Al-Qur’an pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan memperbanyaknya kemudian mengirimkan ke berbagai daerah.
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pada awal abad ke II H,[6] tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-temurun dari guru ke murid, sehingga sampai kepada imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas. Timbulnya sebab lain dengan penyebaran qari’-qari’ ke berbagai penjuru pada masa Abu Bakar, maka timbullah qira’at yang beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arab, yang pada akhirnya perbedaan qira’at itu berada pada kondisi itu secara tepat.
C.    Macam-Macam Qira’at (yang Sah dan yang Tidak Sah)
Yang dimaksud qira’at yang sah dalam tulisan ini ialah qira’at yang diterima dan diakui shahih oleh para ahli qira’at; artinya qira’at tersebut sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah. Sebaliknya, qira’at yang tidak sah ialah qira’at yang tidak diakui oleh ahli qira’at berasal dari Rasulullah atau disebut juga “qira’at syadzdzah”.[7]
Pada mulanya tidak ada qira’at yang tidak sah karena semuanya diajarkan Rasul. Tapi kemudian setelah Islam menyebar ke daerah-daerah yang teramat luas, maka dikirimlah para sahabat dan tabi’in ke daerah-daerah tersebut untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada umat. Masing-masing utusan itu mengajarkan Al-Qur’an sesuai dengan qira’at yang mereka terima. Dengan begitu maka populerlah berbagai qira’at,
1). Di Mekah qira’at Abdullah bin Katsir Ad-Dari (wafat 120 H), yang belajar kepada para sahabat Nabi seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Az-Zubayr, dan Abu Ayyub Al-Anshari.
2). Di Madinah populer qira’at Nafi’ bin Abdurrahman bin Abi Na’im (wafat 169 H) yang menerima Al-Qur’an dari 70 orang tabi’in yang belajar kepada sahabat-sahabat: Ubayy bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas (Ibn Abbas) dan Abu Hurairah.
3). Di Syam populer qira’at Abdullah Al-Yashubi (Ibn Amir) (wafat 118 H) yang menerima qira’at dari Al-Mughirah bin Abi Syihab Al-Makhzumi dari Utsman bin Affan dan juga dia belajar  kepada Nu’man bin Basyir dan Watsilah bin Al-Asqa.
 4). Di Basrah populer qira’at Abu Amr (Zabban bin A’la bin Ammar) (wafat 154 H)
 5) .Ya’qub (Ibn Ishaq Al-Hadrami, wafat 200 H). Abu Ammar menerima qira’at dari Mujahid bin Jabr, dan Sa’id bin Jubayr berasal dari Abdullah bin Abbas dan Ubay bin Ka’b. Adapun Ya’qub belajar kepada Sallam bin Sulaiman Al-Thawil yang diriwayatkannya dari Ashim dan Abu Aini.
6). Di Kuffah populer qira’at Hamzah (Ibn Habib bin Ummah bin Ismail Az-Zayyat, maula (sekretaris pribadi) Ikrimah bin Rabi’ah At-Taymi, (wafat 188 H). 7). qira’at Ashim (Ibn Abi An-Najud Al-Asadi, wafat 127 H). Hamzah belajar kepada Sulaiman bin Mahran Al-Amasy; Sulaiman belajar kepada Yahya bin Watsab; Yahya belajar kepada Zur bin Habisy; dan Zur belajar kepada Usman, Ali, dan Ibn Mas’ud. Sedangkan Ashim belajar kepada Zur bin Habisy; dan Zur belajar kepada Ibn Mas’ud. Pada waktu Ibn Mujahid menghimpun qira’at dari para imam-imam qira’at sekitar tahun 300 H, nama Ya’qub bin Al-Hadrami digantikan dengan Al-Kisa’i Ali bin Hamzah Al-Asadi (wafat 189 H). Tapi sayang sekali Ibn Mujahid tidak memberikan alasan tentang penggantian tersebut. Sejak itu populerlah qira’at para qari’ yang bertujuh itu. Bahkan dianggap orang, itulah yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam hadits Nabi sebagaimana disebutkan.
Dari uraian yang dikemukakan di atas, tampak dengan jelas bahwa semua qira’at yang diajarkan oleh imam-imam qira’at itu mempunyai sanad yang berhubungan langsung dengan para sahabat Nabi. Namun setelah diteliti oleh para ulama, masih ada sejumlah qira’at lagi yang dapat diterima dan diakui karena memenuhi kriteria qira’at yang shahihmeskipun derajat keshahihannya tidak sama dengan yang disebutkan di atas. Dengan demikian, ditemukanlah apa yang disebut dengan qira’at sepuluh dan qira’at empat belas. Qira’at sepuluh adalah tujuh qira’at yang disebut, ditambah tiga lagi, yaitu: 1) Ya’qub Al-Hadrami yang telah disebut. 2) Khallaf bin Hisyam (wafat 229 H) yang belajar kepada Salim bin Isa bin Hamzah bin Habib Az-Zayyat. 3) Yazid bin Al-Qa’qa’ (Abu Ja’far, wafat 130 H) yang mengambil qira’at dari Ibn Abbas dan Abu hurairah dari Ubay bin Ka’b.
Adapun qira’at empat belas ialah dengan menambah empat macam qira’at lagi yang berasal dari empat orang ahli qira’at setelah qari’ yang sepuluh itu, yaitu: 1) Hasan Al-Bashri (wafat 110 H), salah seorang tokoh tabi’in yang populer dengan zuhudnya. 2) Muhammad bin Abdurrahman (Ibn Muhayshin, wafat 123 H). Yahya bin Mubarak Al-Yazidi (wafat 202 H). 4) Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad Al-Syabudzi (wafat 388 H).
Secara garis besarnya ada tiga kriteria pokok yang harus dimiliki oleh qira’at, apabila suatu qira’at tidak memenuhinya, maka qira’at tersebut ditolak atau boleh disebut syadzdzah sehingga tidak boleh dibaca dalam shalat. Ketiga persyaratan itu adalah:
1.      Cocok dengan (kaidah) bahasa Arab walaupun dalam satu aspek (wajh).
2.      Cocok dengan tulisan (rasm) salah satu mushaf Usmani sekalipun secara implisit.
3.      Jalan periwayatannya benar (Shihhat Isnadiha) meskipun terambil bukan dari kelompok tujuh dan sepuluh yang disebutkan di atas.
Ibn Al-Jaziri menambahkan, apabila suatu qira’at sudah memenuhi kriteria itu, maka itulah qira’at yang sah, tidak boleh ditolak dan haram mengingkarinya, bahkan qira’at tersebut adalah salah satu dari tujuh huruf yang terdapat daalm Al-Qur’an. Karena qira’at yang serupa itu harus diterima, baik yang berasal dari para ahli qira’at yang tujuh, atau sepuluh, maupun dari ahli-ahli qira’at lain yang telah diakui. Sebaliknya, jika kurang salah satu dari persyaratan itu –demikian Al-Jaziri- maka qira’at tersebut dinyatakan sebagai qira’at dha’ifah, atau syadzdzah ataupun bathilah (tidak sah). Prinsip inilah yang dianut oleh ulama salaf dan khalaf.[8]
D.    Pengaruh Qira’at Dalam Penetapan Hukum
Meskipun qira’at bukan satu-satunya yang dijadikan dasar dalam istinbath (penetapan hukum), namun tak dapat dimungkiri bahwa perbedaan qira’at berpengaruh besar terhadap produk hukum. Inilah salah satu penyebab timbulnya berbagai madzhab atau aliran dalam Islam. Ditemukan empat madzhab besar dalam bidang fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali), misalnya dapat dijadikan bukti atas kebenaran tesis itu. Perbedaan serupa juga dijumpai dalam bidang ilmu kalam (teologi Islam) seperti Sunni, Syi’ah, Mu’tazilah dan lain-lain.  Contoh qira’at yang berpengaruh terhadap istinbath hukum diantaranya yaitu, surat al-Baqarah: 222, yaitu pada  َلا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْن َ. Hamzah, Kisa’i dan Ashim dari Syu’bah membacanya dengan يَطَّهَّرْنَ. Maka berdasarkan riwayat يَطْهُرْن ulama menafsirkan ayat di atas dengan ”Janganlah kamu bersetubuh dengan mereka sampai mereka suci atau bersenti keluar darah haidh mereka (الطهر)”. Sedangkan berdasarkan qira’at يَطَّهَّرْنَ maka penafsiran akan bergeser menjadi “Janganlah kamu bersenggama dengan mereka sampai mereka   bersuci المطهّر. Namun demikian, ulama masih berbeda pendapat dalam menafsirkan التطهّر di sini. Ada yang menafsirkannya sebagai al-istighsal bi al-ma’i (mandi dengan air), ada yang menafsirkannya menjadi al-wudhu’ (berwudhu), ghasl al-farj (mencuci farj), dan ghasl al-mauhi`wa al-wudhu’ (mencuci tempat keluarnya dan berwudhu). Contoh lain adalah pada firman Allah surat al-Nisa’:43 yaitu qira’at لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ (dengan memanjangkan bacaan لاَ). Qira’at ini diriwayatkan oleh lima orang qari’ yang tujuh, yaitu: Nafi’, Ibn Katsir, Abu ‘Amr, Ashim, dan Ibn Amir. Sementara dua qari’ lainnya, yakni Hamzah dan Al-kisa’i, membacanyaلَمَسْتُمُ النِّسَاءَ (tanpa memanjangkanلَ ). Kedua qira’at itu diakui oleh para ulama sebagai qira’at yang sah dan mutawattir. Oleh karenanya kedua qira’at tersebut wajib diterima sebagai Al-Qur’an yang datang dari Allah yang mutlak benar dan berlaku secara universal.
Dalam menetapkan hukum berdasarkan ayat 6 dari Al-Maidah tersebut, pada umumnya para ulama fiqh terbagi kedalam dua kelompok. Pertama cenderung kepada qira’at لَامَسْتُمُ (dengan memanjangkan bacaan لاَ) lalu mereka menetapkan bahwa yang dimaksud dengan لَامَسْتُمُ dalam ayat itu adalah jimak; artinya, baru batal wudlu jika pria dan wanita melakukan jimak. Pendapat ini dianut oleh pengikut madzhab Hanafi, sambil merujuk kepada pendapat Ali, ibn Abbas, Al-Hasan, Mujahid, dan Qatadah. Kelompok kedua cenderung kepada qira’at لَمَسْتُمُ (tanpa memanjangkan لَ) lalu mereka menetapkan hukum, bahwa yang dimaksud: asal bersentuhan kulit laki-laki dan wanita secara langsung tanpa batas, batal wudlu masing-masing pihak. Pendapat ini dianut oleh pengikut madzhab Syafi’i, sambil merujuk kepada pendapat Ibn Mas’ud, Ibn Umar, Az-Zuhri, Rabi’ah, Ubaydah, Asy-Sya’bi, Ibrahim, dan Ibn Sirin.[9] Contoh lain, misalnya qira’at وَأَرْجُلَكُمْ juga dalam ayat 6 dari Al-Maidah. Secara umum ulama fiqh terbagi pula kedalam dua kelompok dalam menetapkan hukum dari ayat ini. Kelompok pertama cenderung kepada qira’at وَأَرْجُلِكُمْ (dengan kasrah لِ) karena di’athafkan kepada بِرُؤُسِكُمْ yang juga berharkat kasrah, berdasarkan riwayat dari Ibn Katsir, Abu Amr, Hamzah, dan Abu Bakar berasal dari Anas, Ikrimah Al-Baqir, Qatadah, Al-Qamah, Adh-Dhahak. Pendapat ini dianut oleh Syi’ah Imamiyah. Dengan demikian mereka berprinsip dalam berwudlu, kaki wajib tidak disapu tidak dicuci. Kelompok kedua cenderung kepada qira’at Nafi’, Al-Kisa’i, Ibn Amir, dan Hafash yang membaca وَأَرْجُلَكُمْ (dengan berharkat fathah) karena di’athafkan kepada وُجُوْهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ yang juga berharkat fathah. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama fiqh dalam empat madzhab. Jadi menurut pendapat ini wajib mencuci kaki, tidak sah wudlu dengan menyapunya. Namun Dawud berpendapat lain. Katanya kedua cara itu (menyapu dan mencuci) wajib dilaksanakan, baru sah wudlu. Cara pertama berdasarkan Al-Qur’an, sedangkan cara kedua sesuai dengan perbuatan Nabi dalam berwudlu, yang diriwayatkan dalam sebuah hadits yang mendekati mutawattir.
 Sedangkan perbedaan qira’at yang tidak berpengaruh pada istinbath hukum adalah seperti pada surat al-Maidah: 95 pada kalimatأَوْ كَفَّارَةُ طَعَامُ مَسَاكِيْنَ yaitu yang dibaca oleh Ibn Katsir, Ashim, Ibn ‘Amr, abu ‘Amr, Hamzah, al-Kisa’i. Sedangkan Nafi’ dan Ibn Amir membacanya dengan أَوْ كَفَّارَةُ طَعَامُ مَسَاكِيْنَ . Contoh lain adalah pada surat al-Mujadalah: 2 pada kalimat َالَّذِيْنََ يُظَاهِرُوْنَ yang dibaca oleh Ibn Katsir, Nafi dan Abu ‘Amr dengan يَظَّهَّرُوْنَ. Kedua perbedaan qira’at di atas tidak berpengaruh terhadap istinbath hukum meskipun terjadi sedikit pergeseran makna. Contoh pertama tetap berkesimpulan hukum bahwa bentuk kifarat adalah memberi makan sepuluh orang miskin. Sedangkan contoh kedua tetap berkesimpulan hukum suami yang melakukan zihar terhadap isterinya dianggap telah melakukan dosa.
Berdasarkan uraian itu, dapat disimpulkan bahwa qira’at yang dapat diterima hanya sampai empat belas, diluar dari itu boleh disebut syadzdzah tidak diakui sah atau ditolak oleh ulama karena qira’at yang diluar itu tidak memenuhi ketiga kriteria yang ditetapkan di atas. Jadi secara garis besarnya ada tiga macam qira’at, yaitu mutawattir, ahad, dan syadzdzah. Namun Ibn Al-Jaziri sebagaimana dikutip As-Suyuthi merincinya menjadi enam macam, yakni:
1.      Mutawattir, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh orang ramai, dari orang ramai, sampai perawi terakhir yang mustahil mereka sepakat berdusta seperti qira’at tujuh yang disepakati jalurnya (thuruq).
2.      Masyhur, yaitu qira’at yang shahih sanadnya, tapi tidak mencapai derajat mutawattir, seperti qira’at tujuh yang tidak disepakati jalan (thuruq)nya.
3.      Ahad, yaitu qira’at yang shahih sanadnya, tapi menyimpang dari tulisan salah satu mushaf Usmani atau kaidah bahasa Arab, atau tidak mencapai derajat Masyhur yang disebut dalam angka dua di atas seperti qira’at: مُتَّكِئيْنَ عَلَى رَفَارِفَ خُضْرَ وَعَبَاقَرِىِّ حِسَانٍ sedangkan qira’at yang mutawattir ialah مُتَّكِئيْنَ عَلَى رَفْرَفَ خُضْرَ وَعْبَقَرِىِّ حِسَان .Contoh lain misalnya: لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ أَنْفَسِكُمْ dengan فَ berharkat fathah, sementara qira’at yang mutawattir berbunyi لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ dengan AA berharkat dlommah.[10]
Syadzdzah, yaitu qira’at yang periwayatannya menyimpang dari perawi-perawi yang terpercaya, sehingga tidak ditemukan qira’at serupa itu kecuali hanya itu, seperti qira’at Ibn As-Sumaifa: فَالْيَوْمَ نُنَحِّيْكَ بِبَدَنِكَ sedangkan yang mutawattir ialah berbunyi: فَالْيَوْمَ نُنَجِّيْكَ بِبَدَنِكَ yakni memakai huruf "ج" ditempat huruf "ح". Contoh lain misalnya لِتَكُوْنَ لِمَنْ خَلَفَكَ آيَةٌ sementara qira’at yang mutawattir berbunyi: لِتَكُوْنَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةٌ yakni melafalkan ل pada خَلْفَكَ dengan suara sukun (diftong), bukan berharkat fathah:  خَلفَكَ.
4.      Mawadhu’, yaitu qira’at yang palsu (dibuat-buat), yakni qira’at yang dinisbahkan kepada perawinya, tanpa dasar seperti qira’at yang dihimpun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Khuza’i yang menurutnya berasal dari Imam Abu Hanifah, padahal bukan dirinya. Seperti qira’at: إِنَّمَا يَخْشَى اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءَ yakni dengan membaca lafal mulia اللهُ berharkat dlommah dan العُلَمَاءَ berharkat fathah, sedangkan qira’at yang mutawattir ialah kebalikan dari bacaan tersebut, yakni dengan harkat fathah pada lafal اللهَ dan lafal العُلَمَاءُ berbaris dlommah sehingga bunyinya menjadi إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ.
5.      Mudraj, yaitu qira’at yang disisipkan atau ditambahkan ke dalam qira’at yang sah seperti qira’at Sa’ad bin Abi Waqash: وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ مِنْ أُمٍّ dengan menambah kalimat مِنْ أُمِّ padahal qira’at yang sah hanya وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ tanpa lafal من أم. Contoh lain: لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ فِى مَوَاسِمِ الْحَجِّ dengan menambah kalimat فِى مَوَاسِمِ الْحَجِّ sedangkan qira’at yang mutawattir tanpa tambahan kalimat tersebut.[11]
Dari beberapa contoh diatas cukup dijadikan bukti bahwa perbedaan qira’at ikut berpengaruh dalam proses penetapan suatu hukum. Oleh karenanya kajian tentang qira’at perlu mendapat perhatian yang memadai, serta membutuhkan kecermatan luar biasa karena qira’at tersebut berhubungan langsung dengan Al-Qur’an yang merupakan sumber dan dasar pertama dan utama dari segala produk hukum yang akan diterapkan dalam membimbing kehidupan umat manusia di muka bumi ini.
E.     Hikmah Adanya Perbedaan Qira’at Dalam Al-Qur’an
1.      Secara Umum
a.       Untuk memberi kemudahan bagi umat Islam, khususnya bangsa Arab dalam membaca Al-Qur’an.
b.      Mempersatukan umat Islam di kalangan bangsa Arab dalam satu bahasa yang dapat mempersatukan mereka yaitu bahasa Quraisy.
c.       Menunjukkan kelebihan umat Nabi Muhammad SAW dari umat-umat sebelumnya, karena kitab suci yang diturunkan kepada umat sebelum Nabi Muhammad hanya terdiri dari satu macam versi qira’at.
d.      Membuktikan terjaga serta terpeliharanya Al-Qur’an dari adanya tabdil (pengganti) dan tashrif (pengubahan), termasuk berbagai versi qira’atnya.
2.      Secara Khusus
a.       Mengukuhkan/menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati dan diijma’kan oleh para ulama.
b.      Mentarjihkan hukum yang diikhtilafkan oleh para ulama.
c.       Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda.
d.      Menunjukkan adanya dua ketentuan hukum yang berbeda dan dalam kondisi yang berbeda pula.
e.       Menjadi hujjah bagi sementara ulama untuk memperkuat pendapatnya mengenai suatu masalah hukum.
f.       Menjelaskan suatu hukum dalam suatu ayat, yang berbeda dengan makna sebelum dzahirnya.
g.      Merupakan tafsir atau penjelasan terhadap suatu lafadz dalam Al-Qur’an yang mungkin sulit untuk difahami maknanya.[12]





PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemahaman dan pengetahuan mengenai ilmu qira’at sangatlah penting. Hal ini ditujukan agar kita tidak saling berselisih karena perbedaan cara baca ayat Al-Qur’an seperti yang pernah terjadi pada masa Usman bin Affan. Perbedaan versi qira’at disebabkan karena para ulama berlainan dalam menerima bacaan ayat, sehingga terjadi perselisihan diantara para ulama. Kemudian Khalifah Usman bin Affan menyalin dan menyebar luaskan ayat Al-Qur’an ke berbagai daerah untuk mengatasi perselisihan tersebut.
Pengaruh perbedaan qira’at terhadap istinbath hukum dalam Al-Qur’an sangat besar. Pengetahuan tentang berbagai versi qira’at sangat diperlukan seseorang yang akan menginstinbatkan hukum maupun dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
















DAFTAR PUSTAKA

-          Hasanuddin, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, Jakarta: PT Raja Graffindo Persada, 1995.
-          Nashruddin Baidan, Prof. Dr., Wawasan Baru Ilmu Tafsir, cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
-          Manna Khalil Al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2006.
-          Muhammad ‘Abd Al-Azhim Az-Zarqani, Manhil Al-Irfan, Beirut: Dar Al-Fikr, tt.
-          Ramli Abdul wahid, Ulumul Qur’an, Jakarta: PT Raja Graffindo Persada, 1994.
-          Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2000
-          Syaikh Manna Al-Khattan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, cet. VI, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011.
Tengku Hasbi Ash-Shidiqiey, Sejarah Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang:  PT Pustaka Rizki Putras, 1999


[1] Manna Khalil Al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2006, cet 9), hlm 247.
[2]Muhamad ‘Abd Al-Azhim Az-Zarqani, Manhil Al-Irfan, (Beirut: Daar Al-Fikr, tt, jilid I), hlm 412.
[3] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm 147.
[4] Ibid., 147.
[5] Hasanuddin, Pengaruh Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm 2.
[6] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm 75.
[7]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, cet II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm 102.
[8] Ibid., 104.
[9] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT Raja Graffindo Persada, 1994), hlm 124.
[10] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, cet. 6, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011), hlm 220.
[11] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, cet 2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm 107.
[12] Hasanuddin, Pengaruh Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm 241-253.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar