Minggu, 11 Maret 2012

Pemikiran Arkoun dan Nashr

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah 

Pengetahuan (knowledge) adalah bagian yang esensial manusia, karena pengetahuan adalah buah dari berpikir. Berpikir (natiqiyyah) adalah sebagai pembeda yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya, yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya, karena manusia adalah hewan yang berpikir (hayawan an-nathiq). Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Begitu urgennya, sehingga ketika pengetahuan manusia mengalami kemunduran, maka tidak sedikit manusia yang mencoba mengkritisi, mencari tahu persoalannya kemudian merumuskan solusinya. Hal ini lah yang tampak dalam perkembangan pemikiran Islam.
Dalam konteks Islam, sejarah menunjukkan bahwa saat ini dunia Islam memiliki watak keilmuan yang stagnan  atau statis. Para cendekiawan muslim kontemporer berpendapat bahwa dalam Islam telah ada semacam indoktrinasi terhadap khazanah warisan keilmuan klasik. Mereka antara lain Muhammad Arkaoun, menurutnya dalam Islam telah terjadi pensyakralan pemikiran keagamaan, hal ini karena wacana Al-Qur’an yang semula bersifat terbuka, memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Berangkat dari kesadaran terhadap watak pemikiran Islam yang statis tersebut, maka tidak aneh jika kemudian muncul pemikir-pemikir muslim liberal dan kritis, mereka antara lain Nasrh Hamid Abu Zayd (Mesir) Namun ide pemikiran brillian mereka berupa pemikiran pembaharuan (Tajdid) bukannya disambut, melainkan dicemooh dan tak jarang diisolasikan dari percaturan pemikiran Islam, bahkan sampai vonis pada kekafiran berfikir, hal ini karena corak pemikiran mereka yang dianggap liberal bahkan kafir.
 Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sumber kritisisme atas kegelisahan intelektual mereka memiliki akar, serta bertumpu pada permasalahan epistemologi. Permasalahan yang dispesifikasikan dalam term metodologi ini pada dasarnya memang menjadi poros bagi tumbuhnya wacana-wacana modernitas. Epistemologi adalah sebuah persoalan yang mendasar dalam setiap bangunan keilmuan, sebab ia mempertanyakan atau mengkaji secara filosofis tentang asal mula, susunan, metode-metode, validitas pengetahuan, teori-teori dalam ilmu pengetahuan, dan segala sesuatu yang turut melandasi atau membentuk pandangan dunia keilmuan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah kritik nalar Islam menurut Muhammad Arkoun?
2.      Bagaimanakah kritik nalar Islam menurut Nashr Hamid Abu Zayd?


BAB II
PEMBAHASAN

A.                Nalar Islam Muhammad Arkoun
Perkembangan pemikiran Islam selalu mengalalami perubahan dan perluasan kualitas keilmuan. Permasalahan yang muncul disini adalah pertautan dua term yang berbeda antara nalar Islami dan nalar modern. Nalar Islami yang didasarkan pada landasan tekstual cenderung otoritas dan kaku. Sedangkan nalar modern yang mengedepankan rasionalitas tanpa landasan yang cukup kuat, hingga sering terhenti pada sebuah asumsi dan wacana semata. Dalam hal ini, Arkoun yang termasuk pada pemikiran postradisionalistik, yang berupaya membongkar otoritas teks. Menurutnya, teks suci dan tradisi tidak bisa lepas dari sejarah. Akan tetapi sebaliknya, justru  terbentuk dan terbakukan dalam sejarah. Sepertinya Arkoun dengan proyek kritik nalar Islamnya hendak menggiring sejarah Islam pada fase pertarungan antara agama dan ilmu pengetahuan. Menempatkan agama sebagai pengetahuan yang bersifat mitos dan ia berada di pihak pengetahuan yang bersifat rasional. Dengan menggunakan disiplin ilmu yang bersifat antropologis, ia ingin menunjukkan pada umat Islam bahwa al-Quran tidak lepas dari historisitas, dan bahkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan yang lahir dari padanya didakwakan sebagai penyebab kejumudan nalar Islam. Arkon tidak memperhitungkan seluruh informasi yang menyatakan ke-otentikan transmisi dan kompilasi al-Quran. Sekalipun seluruh informasi itu bisa diuji dan dibuktikan keilmiahannya.
Melihat Al-Qur'an sebagai panduan hidup bagi manusia, maka mau tidak mau Al-Qur'an harus mampu menjawab berbagai problematika yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu Arkoun mencoba berbagai pembacaan terhadap Al-Qur'an yang mana dari situ diharapkan akan menghasilkan penafsiran baru yang belum pernah dilakukan oleh ilmuan muslim.
Arkoun merupakan salah seorang pemikir Islam kontemporer dengan ide-ide islamologi terapannya, yang diajukannya untuk mengimbangi islamologi barat yang menurutnya tidak rasional pendekatannya, sedangkan islamologi klasikpun mempunyai kelemahan, yaitu tidak memilki satu refleksi pemikiran dan metodologi. Ia mengkhususkan dirinya dalam bidang teologi, filsafat, dan hukum. Ia banyak mengadopsi ilmu-ilmu barat kontemporer dalam memahami Al-Qur'an. Baik itu ilmu linguistik, sejarah, antropologi dan yang lainnya. Namun Arkoun tidak mengambil begitu saja produk Barat tersebut, terkadang ia mengubah makna dari suatu konsep yang sudah mapan pemaknannya. Dan juga tidak semua pemikiran orientalis ia terima, terkadang ia mengambil sebagian pemikirannya dan tidak setuju dengan pemikirannya yang lain. Kritik terhadap pemikiran Arkoun ini mencakup adanya ontologi tentang al-Quran dan metodologi yang mempengaruhi pemikirannya yaitu historis, antropologis dan linguistik.[1] Dalam hal ini, penulis menguraikan tentang pandangan Mohammad Arkoun terhadap Al-Qur'an, dan metodologinya dalam menginterpretasi al-Qur'an dan disertai beberapa catatan ktritis.
1.         Wahyu dan Teks Al- Qur'an
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa teks al-Qur’an oleh Arkoun disebut sebagai teks pembentuk. Berkenaan dengan hal ini, bahwa kedudukan agung al-Qur’an sebagai al-Nas al-Mu’assis tersebut ternyata tidak secara tiba-tiba terberi secara transcendental.  Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun membedakan tiga tingkat anggitan tentang wahyu. Pertama sebagai firman Allah yang transenden, tak terbatas, yang tidak diketahui oleh manusia. Untuk menunjuk  realitas wahyu semacam ini biasanya dipakai anggitan al-Lauh al-Mahfuz atau Umm al-Kitab. Tingkat kedua menunjuk penampakan wahyu dalam sejarah. Berkenaan dengan al-Qur'an ini menunjukkan pada realitas Firman Allah sebagaimana diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Muhammad saw selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Tingkat ketiga menunjuk wahyu sebagaimana sudah tertulis dalam mushaf yang dikodifikasi pada zaman Usman bin Affan atau lebih dikenal dengan sebutan al-Mushaf al-usmani yang dipakai orang-orang muslim sampai hari ini.
 Arkoun menganalisis dengan pendekatan historis-fenomologis yang menyimpulkan bahwa secara historis, al-Qur’an yang kita terima sekarang ini tidak terkait lagi dengan kalam transenden. Ia adalah fenomena bacaan yang diterima oleh nabi Muhammad SAW dalam wujud bahasa Arab. Sebelum ditransformasi menjadi teks tertulis  al-Qur’an adalah wahyu yang disampaikan secar lisan pada periode kenabian. Al-Qur’an dalam bentuk teks (tertulis) sudah tidak lagi mencerminkan bahasa lisannya. Wahyu pada tingkat pertama, adalah wahyu sakral transenden yang manusia tidak bisa menjaungkaunya. Ia disebut  Ummu al-Kitab (kitab induk) yang terjaga di Lauh al-Mahfudz.  Sedangkan bentuk edisi kedua adalah fenomena wahyu dalam sejarah. Ia adalah realitas firman Allah. Tuhan mengkomunikasikan kehendak-Nya kepada manusia melalui para nabi. Untuk itu, Tuhan memakai bahasa yang dapat dimengerti manusia, tetapi mengartikulasikan kalimat-kalimat-Nya. Wahyu jenis ketiga adalah merujuk kepada wahyu yang tertulis dalam mushaf Ustman bin Affan.  Wahyu pada tataran ini, sudah banyak yang tereduksi oleh prosedur-prosedur manusiawi. Inilah bentuk fisik wahyu, yang terkondisikan oleh kreasi manusiawi yang tidak sempurna. Mushaf ini menurut Arkoun adalah fakta historis dan budaya. Oleh sebab itu, fungsi proyek Kritik Nalar Islam-nya adalah mendekonstruksi wacana keagamaan yang telah diproduksi oleh para ulama’. Sebab, wacana al-Qur’an tidaklah tetap, ia terus berkembang sesuatu kondisi budaya dan ideologi. Dalam hal ini ia menerapkan metode historis untuk kajian al-Qur’an.
2.      Hermeneutik Al-Qur'an Menurut Arkoun
Menurut Arkoun, hermeneutik itu tidak terpisahkan dari tiga unsur, yaitu bahasa, pemikiran, dan sejarah. Ia membedakan antara dua model teks, yaitu pertama, teks pembentuk (an-nash al-mu’assis) di satu pihak, kedua, teks yang menjelaskan atau menginterpretasikan teks pembentuk yang disebut juga dengan teks hermeneutis (an-nash al-tafsiri).[2] Arkoun memberikan ilustrasi terhadap dua model teks di atas dengan mengambil peristiwa sejarah, yaitu revolusi Perancis yang terjadi tahun 1789. Akibat peristiwa ini telah merangsang lahirnya komentar dan teori yang begitu luas sejak munculnya hingga sekarang.[3] Karena peristiwa tersebut, muncul banyak sekali literatur, interpretasi, dan penjelasan yang begitu beragam, bahkan saling bertentangan. Keadaan tersebut dapat dibandingkan dengan keadaan yang terjadi dengan teks al-Quran. Teks al-Quran telah melahirkan sedemikian banyak literatur, interpretasi, dan penjelasan sejak lahirnya hingga sekarang. Hal yang serupa, antara revolusi Perancis dan kasus al-Quran, adalah teks pertama atau pembentuk, sedangkan literatur-literatur yang muncul kemudian yang memberikan interpretasi terhadap al-Quran adalah teks kedua atau teks hermeneutic.
Untuk memahami epistemologi hermeneutik, ada dua istilah yang erat kaitannya, yaitu dekonstruksi (pembongkaran) dan rekonstruksi (membangun kembali).[4]Arkoun, mengungkapkan adanya tugas terbesar sekarang adalah untuk membongkar literatur-literatur heresiografis dan keluar dari ideologi-dogmatis dengan selubung legitimasi teologis. Kemudian meninggalkan keterbatasan, pembekuan dan penyelewengan wacana sebelumnya. Dengan demikian, dimungkinkan dibukanya wacana baru pemikiran Islam yang merupakan upaya hermeneutik terhadap al-Quran sejalan dengan tantanan historis yang sedang dihadapi umat Islam.[5]
B.                 Nalar Islam Nashr Hamid Abu Zayd
Abu Zayd merupakan pemikir Mesir dilahirkan di Teheran, Iran pada tanggal 10 Juli 1943. Pemikirannya yang sangat kontroversial karena karya-karyanya yang telah mengundang perdebatan di dunia Islam sejak tahun 1970-an. Di satu sisi, banyak kalangan mengapresiasi karya-karyanya yang mempromosikan pencerahan dalam studi Islam. Namun, di sisi lain, ia dikafirkan kaum konservatif dan pengadilan Mesir (tahun 1995) karena pemikirannya dituduh menyeleweng. Vonis pengkafiran ini memaksa Abu Zayd hijrah ke Leiden kemudian menjadi guru besar studi Islam di Universitas Leiden dan profesor pada Universitas for Humanistics di Utrecthan. Meski mendapatkan aspresiasi luas, karya-karyanya tak jarang dibaca secara reduktif oleh sebagian kalangan konservatif sehingga menimbulkan kesalahpahaman.Ia mengenalkan studi al-Qur’annya dengan proposisi hubungan antara teks (nash) dan interpretasi (takwil). Menurutnya, teks dan interpretasi adalah merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi mata uang. Menurutnya, selama ini ulama selalu memisahkan antara teks dan takwil, takwil dianggap sebagai suatu yang tabu dan dilarang. Ini mengkibatkan teks menjadi tertutup dan makna-makna yang terkandung menjadi tidak tercapai. Sehingga menurutnya, perlu untuk meninggalkan metode yang menurutnya tradisional,.[6]
Menurut Nashr Hamid, Al-Qur’an merupakan teks manusiawi. Proses pemanusiaan ini, menurutnya, sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad saw dalam bentuk bahasa Arab. Dengan meyakini bahwa Al-Qur’an adalah teks berbahasa arab yang menyejarah, Abu Zayd lalu mendudukan Al-Qur’an sebagai teks yang mungkin dianalisis melalui perangkat kajian linguistik dan historis. Di samping itu, ia menegaskan tekstualitas Alqur’an. Abu Zayd hendak mengkaitkan kembali kajian ilmu Alqur’an dengan konteks studi kritik sastra. Artinya, menurutnya, layaknya seperti teks-teks lain, Alqur’an mungkin didekati dengan pelbagai perangkat kajian tekstual modern.[7] Sebagaimana dikatakannya, Alqur’an adalah teks bahasa yang bisa digambarkan sebagai teks sentral dalam peradaban Arab. Jika demikian, mendudukan Alqur’an sebagai teks histories tidak berarti mereduksi keilahiannya. Justru historisitas tekslah yang menjadikan Alquran sebagai subjek pemahaman dan takwil. Dengan demikian lanjutnya, analis sosiohistoris diperlukan dalam proses pemahaman Alqur’an, dan pemanfaatan metodelogi linguistik modern menjadi sesuatu yang niscaya dalam praktik takwil.[8] Oleh karena itu, dalam pandangan Nashr Hamid perlu adanya dialektika yang terus-menerus antara teks Alqur’an dan kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara pesat. Jika hal ini tidak dilakukan, maka teks Alqur’an akan hanya menjadi benda atau teks mati yang tidak berarti apa-apa dalam kancah fenomena kemanusiaan. Disamping itu karena teks Alqur’an menjadi teks yang hegemonik dan menjadi rujukan bagi teks yang lain, maka kemudian Alqur’an juga menjadi produk budaya. Dalam hal ini, Nashr Hamid Abu zayd memberikan pandangan terhadap al-qur'an.
1.      Al-Qur’an Sebagai Teks
Pengembangan teori tentang teks oleh Nashr Hamid, dikaitkan dengan bahasa dan budaya. Sehingga sebagaimana teks-teks yang lain, kajian terhadap Al-Qur’an yang sudah merupakan teks manusiawi dengan menggunakan analisa wacana (discourse analysis). Dalam analisis wacana, teks didefinisikan sebagai system tanda linguistik yang memproduksi makna. Selanjutnya dalam analisis wacananya Abu Zayd membagi teks menjadi dua, yakni teks primer dan teks sekunder. Teks primer dalam pemikiran Islam adalah Qur’an, sedangkan teks sekunder adalah sunnah Nabi, yakni  komentar tentang teks primer. Nashr Hamid mendekonstruksi proses pewahyuan dan konsep Alqur’an kepada nabi Muhammad saw melalui dua tahapan. Pertama adalah adalah tahap tanzil yaitu proses turunnya teks Alqur’an dari Allah swt kepada malakiat Jibril, teks masih berupa teks non bahasa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ayat-ayat Alqur’an dalam tahap ini masih berupa makna saja. Kedua adalah, proses takwil yaitu proses dimana Nabi Muhammad saw menyampaikan teks Alqur’an dengan bahasanya yaitu bahasa Arab. Dalam proses ini, nash Alqur’an
2. Al-Qur’an sebagai Produk Budaya
Disamping sebagai teks sastra, Nashr Hamid juga menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan produk budaya. Hal ini karena al-Qur’an terbentuk atas realitas sosial dan budaya selama dua puluh tahun, proses kemunculan dan interaksinya dengan realitas budaya selama dua puluh tahun tersebut adalah merupakan fase keterbentukan. Fase berikutnya adalah fase pembentukan, dimana al-Qur’an selanutnya membentuk suatu budaya baru, sehingga al-Qur’an dengan sendirinya juga menjadi produk budaya. Nashr Hamid beralasan bahwa ketika Allah mewahyukan al-Qur’an kepada nabi Muhammad dengan memilih bahasa manusia sebagai kode dari wahyu tersebut. Atas dasar ini, tidaklah mungkin bahasa terpisah dari budaya dan relitas, sebagaimana teks yang tidak bisa dipisahkan dengan budaya dan realitas juga.
3. Problem Tekstulaitas Al-Qur’an
Nashr Hamid berusaha untuk membuktikan bahwa al-Qur’an adalah teks yang menyejarah, hal ini menurutnya diindikasikan oleh karekteristik al-Qur’an itu sendiri. Pertama, al-Qur’an memuat pesan-pesan ajaran Allah untuk manusia yag diwujudkan dalam sebuah teks berbahasa Arab yang dirutunkan (wahyu) kepada utusanNya, Muhammad saw. Karena wahyu secara semantic sejajar dengan perkataan Tuhan (kalam Allah) dan karena al-Qur’an juga merupakan sebuah pesan, maka tidak salah apabila masyarakat Muslim mengaitkan al-Qur’an sebagai sebuah teks. Oleh karena itu, Nashr berpendapat bahwa ada tiga petunjuk dalam al-qur'an. Petama, sebagai doktrin yang berisi petunjuk terhadap moral dan hukum yang menjadi dasar syari'at dan mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Kedua, al-qur'an adalah berisi petunjuk dan ringkasan sejarah eksistensi duniawi manusia. Ketiga, al-qur'an berisi sesuatu yang sulit dijelaskan dalam bahasa modern.[9]
4. Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zayd
Dengan menyelami realitas disekitar teks, maka Nashr Hamid mempromosikan mekanismenya dalam memaknai sebuah teks. Yaitu teks ditinjau dari latar belakang kondisi historisnya yang didukung oleh analisa linguistik. Inilah hakekat ‘proyek penyelidikan ilmiah’ versi Nashr Hamid. Sebab teks-teks agama bukanlah solusi akhir melainkan sekedar kumpulan teks-teks linguistik, yang berarti bahwa teks-teks tersebut bersandr pada kerangka kebudayaan terbatas, yang sempurna pembuatannya (diproduksi) sesuai dengan aturan legal kebudayaan tersebut dan memposisikan bahasa sebagai system pemaknaannya yang sentral.[10]
Dalam pendapatnya bahwa al-Qur’an sebagai teks manusiawi, kebenaran al-Qur’an tidak lagi dinyatakan mutlak, sebaliknya dianggap telah bergeser dari makna yang relatif. Maka bagi kaum Islam Liberal, hermeneutika dipandang perlu sebagai perangkat interpretasi keagamaan. Pendapat Nashr Haid ini diperkuat oleh muridnya Moch Nurikhwan dengan mengatakan bahwa hermeneutika dimaknai sebagai teori dan metode yang memfokuskan dirinya pada problem pemahaman teks. Dikataan problem, mengingat sejak diwahyukan, al-Quraan dirasakan sulit untuk dipahami dan dijelaskan. Problem itu rumit manakala Rasulullah wafat, sehingga tidak ada lagi otoritas tunggal yag menggantikannya. Oleh karena itu, penggunaan hermeneutika dalam studi al-Qur’an tidak bisa diabaikan lagi. Bahkan saat ini hermeneutika al-Qur’an dinyatakan telah menjelma menjadi kajian interdisiplin yang memerlukan penerapan ilmu-ilmu dan humanitas. Nashr Hamid memandang al-Qur’an secaara dikhotomis yang memiliki dua dimensi: yaitu dimensi historis ( relative dan berubah) dan dimensi ketuhanan (mutlak dan tetap).








BAB III
PENUTUP
A.            Kesimpulan
Memperhatikan permasalahan epistemologi dalam pemikiran Barat dan Islam, dapat diringkas menjadi tiga teori kebenaran, yakni rasional, inderawi, dan ilham. Sesuai perkembangan ilmu pengetahuan yang terus berkembang maka tidak cukup hanya mengandalkan satu epistemologi saja. Oleh karena itu, diperlukan kajian yang holistik dengan mengetengahkan teori-teori epistemologi lain seperti empiris atau yang lainnya. Sebuah pemikiran tidak akan lepas dari pro-kontra, demikian halnya dengan ide-ide liberal Muhammad Arkoun yang notabennya dikritik berbagai pihak baik itu dari pihak orientalis maupun pihak ulama muslim terutama masa klasik. Namun tujuan dari penelitian Arkoun tidaklah jelas, apakah penelitiannya tersebut adalah kajian Al-Qur'an atau kajian metodologi. Tidak sulit untuk melihat bahwa Arkoun tidak mengkaji metodologi untuk kepentingan Al-Qur'an, tetapi dia mengkaji Al-Qur'an untuk kepentingan metodologi.
Al-Qur’an merupakan pegangan hidup umat Islam, dalam pemikiran Nashr Hamid Al-Qur'an merupakan kitab suci yang tidak lagi agung dalam artian kitab yang sakral. Hal ini dibuktikannya dengan memberikan pernyataan, bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci tetap dipertahankan maka akan menghalangi pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Menurutnya, para ulama tradisional yang memberikan batasan penafsiran al-Qur’an, mengandung kepentingan atau sebuah ideologi tertentu. Oleh karena itu, sebuah keniscayan guna membongkar bangunan lama yang telah mengakar tersebut dengan menghadirkan metodelogi kritik bahasa dan sastra. Sehingga al-Qur’an yang kita percaya sebagai teks murni dari Tuhan, dapat ditafsirkan menurut pembacanya tanpa harus adanya pembatasan-pembatasan dalam penafsirannya.



DAFTAR PUSTAKA
Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, terjemah oleh Hidayatullah, Bandung : Pustaka, 2000.
Irfan Safrudin,  Kritik Terhadap Modernisme, Jakarta: Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, 2005.
Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Qur'an, terj  Hidayatullah, Bandung: Pustaka Setia,1998.
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zayd,  Jakarta: Teraju, cet.pertama, 2003.
Mukhtar Sholihin, Epistemologi Ilmu Menurut Al-Ghazali : Studi Analisis Kitab Risalah al-Laduniyah, Bandung : Puslit IAIN Sunan Gunung Jati, 1999.
Nashr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an Hermeneutika dan Kekuasaan, Bandung: RQiS, cetakan 1, 2003.
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, Jakarta : Paramadina, 1997.


[1]  Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Qur'an, terj  Hidayatullah (Bandung: Pustaka Setia,1998), hlm, 48.

[2]  Arkoun, Al-Fikr al-Islam Naqd wa Ijtihad, Terjemah Hasyim Salih (London : Dar al Saqi, 1990), hlm. 234.
[3] Mukhtar Sholihin, Epistemologi Ilmu Menurut Al-Ghazali : Studi Analisis Kitab Risalah al-Laduniyah, (Bandung : Puslit IAIN Sunan Gunung Jati, 1999), hlm, 79.
[4] Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta : Paramadina, 1997), hlm. 58-61.
[5] Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, terjemah oleh Hidayatullah, (Bandung : Pustaka, 2000), hlm. 246.


[7]  Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zayd, ( Jakarta: Teraju, cet.pertama, 2003),  hlm,  42.
[8] Ibid., 71.

[9] Irfan Safrudin, Kritik Terhadap Modernisme (Jakarta: Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, 2005), hlm, 202-203.
[10]  Nashr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an Hermeneutika dan Kekuasaan, ( Bandung: RQiS, cetakan 1, 2003), hlm,  91.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar